Apa lagi yang bisa menjadi bahan tertawaan selain penderitaan? Selama masih hidup di bawah matahari, manusia pasti menderita. Bila tidak kuat, tertawalah. Tertawakan penderitaan yang menyiksa hidup itu. Kamu tidak akan pernah merasa kalah.
Perkataan Samijun itu selalu terngiang di kepala saya. Sempat saya bertanya: "Bagaimana seorang gelandangan bisa berucap kata-kata bijak seperti itu? Apa dulunya dia seorang terpelajar dan sangat berhikmat di kantornya?Â
Apa mungkin dia pernah menjadi bos dan punya anak buah, sehingga harus menjadi teladan? Saya sangsi di umurnya yang ke-2o tahun ini, lima tahun lebih muda dari saya, dia bisa seperti itu. Ternyata, kehidupan di jalanan lah yang mengajarinya.
"Kau tahu ibu tua yang bersama anak kecil itu?" Tanya Samijun beberapa saat setelah saya bergabung dan mengenalkan diri.Â
"Tidak," saya menggeleng kepala. Tiba-tiba ibu yang berambut putih dan berkulit hitam dengan tangan menggendong kuat-kuat seorang anak yang saya rasa berumur satu tahun itu menatap saya dengan wajah tersenyum. Seolah-olah dia merasa sedang diperbincangkan.
"Dia sudah lama berjualan tisu di kota ini. Dia ditinggal mati suaminya. Anak pertamanya tewas kecelakaan. Tertabrak truk. Rumahnya sama seperti Sulepret, hancur dilanda banjir."
Saya tertegun. Saya amati dan dengar benar kata demi kata dari seorang pemuda di depan saya ini.
"Biar pun begitu, dia tetap berjuang. Dengan uang beberapa lembar di tangan dan sesekali berutang, dia memilih berdagang tisu. Dia tidak menyerah pada keadaan. Bila berbanding penderitaan, dia lebih menderita daripada kita. Dia punya tanggungan. Seorang anak. Nah, perkataan itu saya simpulkan dari senyum di wajahnya."
Sejak saat itu, saya benar-benar diajar oleh mereka bagaimana kerasnya kehidupan di jalanan.
Samijun masih memejamkan mata. Sementara saya terbangun dan merapikan beberapa kertas dan dua potong pakaian dalam tas jembel saya. Inilah satu-satunya harta yang saya punya.Â
Pada sebuah rumah di kota sebelah, terlihat beberapa lelaki berotot kekar berdiri berjam-jam dengan tangan memegang tali yang berujung pada leher beberapa ekor anjing galak. Rumah megah itu dikelilingi pagar beton hitam tinggi besar dan hanya satu pintu masuknya. Ketat dijaga para lelaki itu.