Namun, malam tepat tembok itu selesai dibangun, mendiang ayah mendatanginya lewat mimpi. Di sana, ayah marah habis-habisan karena menganggap dia telah merusak pintu dan tidak menuruti nasihat. Alhasil keesokannya, karena takut mendapat petaka, tembok itu dibongkar.
Inilah kehidupan kami bertiga. Kesusahan dibantu, keberuntungan dibagi. Mimi kerap berkunjung ke tempat saya. Hatinya selalu susah setelah dimarahi suaminya.
Suami Mimi sudah lama tidak bekerja. Menghabiskan waktu hanya ongkang-ongkang di depan TV bak raja dalam istana, sambil mengepul asap memenuhi seluruh sudut ruangan. Rokoknya bertumpuk-tumpuk.Â
Bila Mimi sedikit mengganggu, maka dengan cepat tangannya menggampar pipinya. Kerap kali pula sapu itu melayang di kepala. Rambutnya dijambak keras-keras. Umpatan kotor keluar menghunjam hatinya. Mimi terkadang tidak kuat. Tetapi, apa daya, demi menjaga kehormatan keluarga, Mimi memilih bertahan.
Apalagi, akhir-akhir ini yang saya dengar, suaminya kalah lotre. Semua uang pesangon hasil pemutusan kerja yang dipertaruhkan melayang lenyap hilang entah ke mana. Maka semakin seringlah dan kian mudahlah amarahnya tersulut bak api terkena minyak.
Sebagai kakak dan mengingat pesan ayah, saya kerap meluangkan waktu mendengarkan curahan hatinya di antara tangisan-tangisan pilu itu.
Hari berganti hari, tanpa terasa saya melihat perut Mimi membesar. Saya dan Lili sontak bahagia. Keinginan kami untuk menambah teman bagi Sisi dan Riri--anak kami--terwujud juga. Kami dulu pernah berlomba. Bagi yang duluan punya anak, biaya syukuran kelahiran akan ditanggung oleh yang kalah. Sekarang giliran kami mengerjakannya.
Bulan depan, tepat tanggal sembilan, sesuai pesan dokter kandungan langganan kami, bayi itu akan lahir. Kami sih berharap, perempuan, seperti kedua anak kami. Sehingga nanti tidak perlu lagi membeli boneka. Kami sudah punya banyak.
Menjelang proses kelahiran, saya lihat pula amarah suaminya mulai mereda. Â Bila dahulu setiap hari selalu naik darah, sekarang bisa saya hitung, melalui sentakan keras yang terdengar lewat pintu belakang, hanya sekali dalam seminggu. Apa ini sebetulnya yang menyebabkan dia selalu marah? Memang, tidak punya anak terkadang dianggap aib keluarga.
Agar kandungan janin itu tumbuh sehat, saya dan Lili bergantian setiap hari membantu memberikan asupan makanan bergizi. Terkadang, bila Mimi kelelahan dan suaminya sedang tidak di rumah, kami kerap menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah. Kami tidak ingin terjadi apa-apa pada calon kemenakan kami itu.
Hari yang dinanti tiba. Bayi itu lahir. Dengan berat tiga kilogram, bermata sipit, berkulit putih, dia lahir dengan selamat. Sekilas melihat matanya, saya jadi teringat ibu. Jadi ada penerus genetik dari ibu. Wajah saya menghangat.