Setelah nyawa, saya rasa tidak ada bagian yang lebih penting dan terhormat dari tubuh manusia selain kepala. Tempat di mana berkumpulnya saraf-saraf makhluk paling mulia, yang seyogianya dipakai untuk membangun peradaban.
Saya tidak meminta kamu setuju. Boleh jadi kamu berbeda pendapat, tetapi bila kamu benar-benar berotak, seharusnya sepakat. Banyak orang saya saksikan di hidup ini berlomba-lomba mengindahkan kepala beserta isi-isinya.
Teman-teman saya terus sekolah menimba ilmu hingga tingkatan yang sepertinya tidak akan pernah dan tidak tertarik saya capai. Mereka bangga dengan berbagai gelar yang didapat. Itu secara langsung menaikkan derajat mereka dan keluarga tentunya di tengah masyarakat. Saya juga ikutan bangga, sebagai teman. Ya, kendati tidak pintar, saya kenal dan tahu siapa mereka.
Saya terlahir dalam keluarga kecil. Miskin, tanpa peradaban. Setiap hari selalu ada pertengkaran, antara lelaki dan perempuan yang saya sebut bapak dan ibu. Tetap saya sebut begitu, kendati perlakuan mereka jauh dari kasih sayang yang seharusnya saya dapatkan.
Masih teringat jelas bagaimana saat itu bapak memegang kepala saya, menjambak berulang kali rambut saya, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar untuk ukuran anak sekolah dasar. Saya berteriak keras-keras, meraung-raung menangis kesakitan. Rambut saya seperti hendak lepas. Kulit kepala tertarik begitu kencang. Sakitnya sampai ke ubun-ubun.
"Dasar, anak keparat! Ngapain kamu lahir di dunia ini!"
Saat itu saya merasa kehormatan saya dilecehkan. Saya tidak tahu apa-apa, mengapa diperlakukan seperti itu. Baru-baru ini saya tahu, saya adalah anak hasil perselingkuhan.Â
Tetapi, apakah saya bisa meminta dilahirkan sebagai siapa? Adakah waktu untuk menawar derajat saya kepada Pencipta? Kendati ibu membesar-besarkan hati saya untuk sabar menghadapi perlakuan bapak, karena tidak kuat, saya memutuskan melarikan diri dari rumah itu.
Beberapa hari di jalanan, saya mencoba melupakan kepahitan itu. Tidak ada yang saya kenal, sampai suatu ketika saya berbincang dengan seorang lelaki yang memberi saya sebungkus nasi berlauk telur ceplok, karena tidak tega melihat saya tergeletak di bawah pohon dengan wajah pucat kelaparan seperti akan mati.
Lelaki itu lemah gemulai perangainya. Ototnya di tangan dan kaki begitu kekar. Jarinya lentik. Kukunya berwarna-warni rapi terawat. Entah, makhluk apa itu, tetapi yang pasti bersamanya saya bisa bertahan hidup. Seperti sebuah keadilan yang saya terima dari Pencipta, saya dibesarkan dan dididik baik olehnya.