Sebagai contoh, cerpen "Saksi Mata" karya SGA. Di cerpen itu, diceritakan seorang tanpa mata bersaksi di persidangan. Darah mata itu mengalir dan terus mengalir menyelimuti seluruh lantai, sampai keluar dari ruang persidangan.
Bila saya pakai logika, sudah barang tentu tidak mungkin ada kejadian seperti itu. Saya pun gagal menikmati betapa seram dan menyedihkannya, kejadian yang hendak dilukiskan SGA. Baru yang tersurat ya, belum tersiratnya.
Tidak membaca keseluruhan
Belajar cerpen wajib membaca keseluruhan. Saya beberapa kali terkecoh dengan judul yang sangat enteng, tetapi isinya berat sekali. Filosofi mendalam saya temukan sering diselipkan dalam pertanyaan di beberapa bagian cerpen, yang bukan penggambaran judulnya.
Bila saya tidak cermat, pasti bagian itu terlewat. Padahal, bisa jadi itu bagian penting yang cerpenis ingin ceritakan.
Tidak mau belajar diksi
Ini juga kesalahan saya. Beberapa kali saya kebingungan memahami cerpen, karena perbendaharaan kata sangat sedikit. Apalagi, ketika membayangkan kata-kata yang menggambarkan perilaku tokoh dalam cerpen.
Seperti bersedekap, tertegun, mendeham, menggeragap, bergeming, dan lainnya. Ketika saya tidak memahami arti kata itu, saya gagal membayangkan emosi yang dialami tokoh itu. Mengurangi kenikmatan dan hidupnya cerpen. Fatal sekali.
Memandang sebelah mata nama cerpenis
Saya pernah, karena terlalu jatuh cinta pada seorang cerpenis, maka karya di luar cerpenis itu, malas saya baca. Saya pikir, pasti tidak sedahsyat karya cerpenis yang saya kagumi itu.
Ternyata, itu fatal sekali. Belum tentu, nama cerpenis yang tidak tenar, karyanya tidak berkualitas. Mungkin, belum saatnya saja, keberuntungan berpihak. Dan kenyataannya, setelah saya membuka dua mata, karya mereka tidak kalah bagus.