Biasanya, orang akan menulis kisah-kisah hebat untuk menginspirasi para pembaca. Kali ini berbeda. Jangan Anda harap menemukannya di artikel ini. Saya hendak berbagi kesalahan-kesalahan fatal saya ketika belajar cerpen.
Menginspirasi? Tentu tidak. Bermanfaat? Sangat iya, bila dihindari.
Saya tergolong anak kemarin sore di kanal cerpen Kompasiana. Belum banyak cerpen saya tuliskan. Cerpen pertama berjudul "Malu" tayang Senin, 7 September 2020. Terbaru, "Tiga Rahasia di Suatu Malam Menjelang Pernikahan", tayang kemarin. Hampir empat bulan saya menekuni dunia cerpen.
Tentu, menurut saya, cerpen terbaru dibanding pertama, ada kemajuan signifikan. Bisa Anda baca dan perbandingkan. Tanpa saya belajar, mustahil ada perbaikan.
Kurang lebih empat bulan tersebut, saya banyak membaca cerpen para Kompasianer dan Cerpenis Senior di buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Sebut saja, Seno Gumira Ajidarma (SGA), Yanusa Nugroho, A.A. Navis, saya akrab dengan karya mereka. Bahkan, cerpen karya penyair, M. Aan Mansyur, saya santap juga.
Selama membaca itulah, saya berhasil memetakan lima kesalahan fatal saya yang menjadi kendala dan sangat mengganggu dalam belajar. Kelima penyebab ini membuat saya gagal menikmati dahsyatnya imajinasi, saratnya pesan moral, apiknya gaya penulisan, dari sebuah karya.
Hancurkan benteng pemikiran
Sejak kecil, saya sudah diajarkan dalam-dalam ilmu agama. Teori berbuat kebaikan, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, mengalah demi kebajikan, orang jahat akan mendapat balasan, dan lain sebagainya.
Untuk belajar cerpen, ternyata saya sebaiknya merobohkan dulu benteng itu. Tidak semua cerpen mengandung pesan moral. Ada juga yang lucu dan menghibur, nakal dan genit, dan melawan ajaran (semisal orang jahat tetap jaya). Bila benteng itu tidak roboh, saya tentu gagal total menikmati imajinasi cerpenisnya.
Logika tidak bermain
Karena cerpen adalah karya pikir cerpenis berdasarkan kenyataan dan imajinasi, yang mana imajinasi kebanyakan tidak masuk akal, maka perlu saya robohkan logika saya.