“Andi belum bisa pulang Yah. Dodi belum dapat izin mengunjungi orangtua. Susi, sama dengan Andi” Kataku perlahan. Aku tidak berharap jawabanku mengecewakannya.
Ayah menarik napas dalam-dalam. Dari wajahnya, dia seperti ingin menumpahkan keluh kesah. Suatu kali, dia pernah berkata, betapa menyesal punya anak-anak seperti mereka.
“Dodi itu ngikut siapa ya Bu? Bisa-bisanya dia mempermalukan keluarga kita dengan berjualan sabu. Ayah malu sama tetangga. Di acara keluarga, ayah tidak berani datang. Pasti mereka tanya bagaimana kabarnya”
“Susi apalagi. Anak macam apa dia. Ditanya kerja apa, gag pernah jawab. Ayah tidak butuh uang kirimannya. Ayah juga tidak tahu itu halal apa tidak. Kita ini dianggap apa sebetulnya sama dia!”
“Andi juga. Walaupun sukses di negeri orang, ayah sama sekali tidak bangga bu. Mau dia kaya sekalipun, tetapi kalau jarang berkunjung ke rumah, buat apa? Uang bisa dicari kapanpun. Tetapi, kehadiran lebih penting bagi Ayah”
Ayah jengkel. Sepengalaman dia membesarkan anak-anak, dia merasa sudah mengajarkan bagaimana cara menghormati dan membalas budi orangtua. Dia sudah memberikan yang terbaik bagi mereka. Bahkan, dia habis-habisan rela tidak beli apa-apa baginya dari penghasilan setiap bulan, yang penting kebutuhan makan dan sekolah anak tercukupi.
“Sudah Yah, jangan terus-terusan dipikir. Nanti ayah sakit lagi. Suatu saat mereka pasti pulang kok” Kataku sedikit menghibur hatinya. “Ayah istirahat saja ya” Segera kubersihkan tempat tidurnya, kunyalakan AC, dan kusiapkan mantel terbaik yang kujahit khusus untuknya.
“Tapii….” Ayah masih bertanya-tanya.
Suatu hari, kami kedatangan Pak Pos. Aku heran, tumben ada yang mengirim surat. Di era serba praktis sekarang, masih ada yang mengirim surat. Anakku bertiga kutanya, apakah mereka yang mengirim. Tidak ada yang menjawab iya.
Ayah menerima surat itu. Nama pengirim di sampul surat yang berwarna coklat itu sama sekali tidak dikenal. Sahabat bukan, keluarga bukan. Karena penasaran, ayah membukanya. Dibacanya surat itu.
Yth. Bapaknya Susi
…Tolong Bapak ajari anak itu. Ajari moral dan akhlak. Jangan suka merebut suami orang. Saya dan suami saya selalu bertengkar karena anak bangsat itu.
Dia terus menggoda suami saya, sampai-sampai tidak pulang ke rumah. Tolong Bapak urus anak itu. Kasih dia pelajaran. Kerja yang benar, jangan morotin suami orang!
Kalau tidak Bapak urus, saya akan lapor polisi. Dia kutuntut sebagai perebut suami orang. Penghancur rumah tangga orang. Ingat itu. Seminggu saya tunggu!…