Aku mulai bosan berbicara kebahagiaan. Hal yang telah, sedang, dan akan dinikmati banyak orang, menjadi kerinduan, dan selalu diharap. Aku yakin, kamu termasuk salah satu dari mereka. Dari dulu, tak pernah kutemukan orang yang takingin bahagia.
"Bahagia benaran?" Banyak. "Pura-pura bahagia?" Lebih banyak. Terkadang, kita memang harus membadut. Melawan kehidupan yang dirundung banyak kesusahan.
Saking umumnya, jarang orang berbicara kesedihan. Dukacita, perkabungan, kematian, lepas dari perhatian. Kalau bisa, jangan pernah dipikirkan. "Itu hak orang-orang?" Tepat. Dan sekarang, izinkan aku menggunakan hakku menuliskannya.
Ayat 1
Seorang lelaki tua tergeletak di atas kasur. Rambutnya memutih dan keriput menghiasi di setiap titik wajahnya. Lelaki itu, pejuang hingga akhir usia. Berjuang, tak sedikit pun merepotkan keluarga.
Malam itu, lelaki itu menunggu anak-anak berkumpul. Yang ditimang sedari kecil, disekolahkan hingga pintar, dan dinikahkan bersama pasangan. Lelaki itu suka mengerjakan hal itu. Kendati, menggerogoti dirinya.
Lelaki itu takbisa banyak bicara. Kepada keempat anak, dia berbisik. "Jangan tangisi ayah. Tetaplah jaga nama baik keluarga kita" Seketika, lelaki itu berpulang diiringi tangisan anaknya dan keteguhan hatinya.
Ayat 2
"Uhuk..uhuk..uhukk"Â Di dalam kamar utama di rumah megah itu, terdengar batuk keras berulang-ulang. "Udah diminum obatnya, Yah?" Seorang anak merasa khawatir dan terus mengingatkan lelaki tua yang telah membesarkannya.
Di penghujung usia, lelaki itu menderita penyakit komplikasi. Dokter memvonis dan memberi bermacam-macam obat. Mungkin, kelezatan obat lebih sensitif di lidahnya daripada makanan.
Lelaki itu sepanjang hidup berjuang mencari uang, dan uangnya mencari penghidupan baginya. Namun apa daya, uang takbisa menyelamatkan. Lelaki itu akhirnya berpulang di antara belantara obat-obatan di mejanya.