Halo! Berjumpa lagi denganku, seseorang yang bercita-cita menjadi cerpenis. Kali ini, aku tidak menyajikan imajinasi kepadamu, tetapi kenyataan. Seperti judul, aku ingin bercerita tentang seorang wanita.
Wanita itu wanita terhebat yang Tuhan izinkan menemani hidupku. Wanita yang kukenal sejak pertama kali aku hadir di bumi, hingga meninggalkan bumi. Iya, sampai kapanpun, wanita itu selalu memiliki ruang tersendiri di hatiku. Takakan tergantikan dengan yang lain.
Siapa lagi kalau bukan mamaku. Aku sedari kecil tidak terbiasa memanggilnya ibu. Sedari aku lahir di usianya ke-44 tahun. Hebat bukan? Kalau sekarang, jarang ditemukan wanita melahirkan di usia segitu.
Seiring perjalananku bertumbuh usia, mama jarang memarahiku. Saking sedikitnya, aku sampai lupa. Aku sendiri tidak suka dimarahi. Karena itu, sebisa mungkin kulakukan segala perintahnya.
"Apa yang tidak ingin orang lain perbuat padamu, jangan berbuat seperti itu padanya"
Itu prinsipku. Kalau aku tidak ingin dimarahi, aku jangan marah. Sebisa mungkin, aku patuh dan tidak melawan padanya, agar tidak beroleh marah. Sebagai saksi, sampai sekarang beberapa temanku berkata bahwa mereka jarang melihatku marah. Bahkan, mereka meragukan, aku bisa marah tidak ya? Hehehe...
Sebetulnya, prinsip itu tidak tercipta sendiri. Tetapi, dari ajaran mama. Mama selalu berkata bahwa hiduplah menjadi berkat bagi sesama. "Berbuat baiklah kepada sesama, nanti mereka akan berbuat baik padamu. Terlebih, semata-mata karena Tuhan sudah dahulu berbuat baik padamu"Â
Sebentar-sebentar, kok jadi langsung kesimpulan? Baiklah, aku ceritakan sejenak petualangan hidup mamaku. Sang inspirasiku.
Beliau lahir tahun 1946, tepat satu tahun setelah Indonesia merdeka. Sekarang, umurnya 74 tahun. Beliau anak pertama dari sebelas bersaudara, dari orangtua guru dan penjual kain. Zaman segitu, punya anak banyak adalah biasa. Sekarang, sepertinya mikir-mikir deh, hehehe...
Berdasarkan cerita yang berulang-ulang kudengar dan tertanam baik di pikiran, beliau memiliki adik-adik dengan sifat beraneka ragam. Sebagai sulung, sedikit banyak kerepotan mengasuh saudaranya itu.
Semasa hidupnya, beliau memutuskan tidak bekerja. Melainkan, memenuhi panggilan hidup melalui pengabdian sebagai pelayan Tuhan. Membagi kasih-Nya di antara para jemaat, dengan terlebih dahulu bersekolah di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur.