Pagi ini, aku kalah lagi dengan mentari. Dia lebih dulu bangun, menerangi setiap sudut kota ini. Aku tidak tahu dia bangun, karena kamarku tertutup gordyn coklat yang tebal itu. Untung, otakku masih sinkron dengan alarm di ponselku. Biasanya sih membantah. Kusentuh lagi tombol ulang di sana.
Tepat pukul sembilan nanti, ada rapat yang harus kuhadiri di gedung bertingkat ini. Di lantai tujuh dekat restoran. Sementara aku, jauh lebih tinggi ke atas. Lantai lima belas.
Karena ruangan terlalu dingin, oleh sebab suhu pendingin terlalu rendah semalam, akhirnya kutarik gordyn itu dan kunikmati kehangatan mentari. Bersama segelas kopi panas, aku menyapa kota pagi ini.
Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya gedung, gedung, dan gedung. Beberapa di antaranya tinggi menjulang, menutup bangunan kecil di belakang. Mereka dipisahkan beberapa sentimeter sekat.
"Apakah mungkin tanah bisa berteriak kelelahan seandainya punya bibir untuk bicara?" Bayangkanlah, betapa berat dan banyaknya beton-beton terpancang menindih permukaan bumi di sini.
Di jalanan, baik lebar maupun sempit, kulihat kendaraan bermotor berlalu lalang. Beberapa terhenti di lampu merah. Beberapa lainnya terhenti di kemacetan jalan. Semua sibuk di pagi ini.
"Mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian" Pikirku menjawab maksud mereka sibuk di jalan. Iya, kotaku memang dipenuhi orang yang menaruh harapan tinggi akan kehidupan yang lebih baik.
Entah mengapa, semua seakan terhipnotis datang ke sini. Mungkin, di sini banyak lapangan pekerjaan. Mungkin, di sini bisa mencari pasangan hidup. Mungkin pula, di sini tempat untuk berlibur.
Di sisi lain, beberapa dari mereka pernah kudengar mengeluh akan kejamnya kotaku. Tetapi, bila diminta meninggalkan, tidak pernah mau. Tetap memilih disiksa kejam, daripada kembali ke kehidupan silam. "Sudah terlanjur cinta mungkin"
Dari selintas pandangan, yang kusedihkan hanya satu pertanyaan. "Apa mungkin kita semakin tidak mencintai alam?" Pohon semakin jarang, sementara hunian semakin pekat. "Alam perlu dijaga bukan?"