Subuh, ketika ibu pulang, aku mendekati. "Ibu, benar ibu perek?" Dengan wajah lugu, aku bertanya. Ibu tertunduk. Terdiam. Tak seperti biasanya. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah. "Kamu tahu dari mana, Nak?"
"Dari Dodi, teman sekelasku."
Ibu menghela nafas. Seperti ada rahasia besar yang ingin diungkapkan. "Maafkan ibu ya." Dia memelukku kencang. Bahuku basah dengan tangisnya. "Maafkan ibu Nak, ibu gag tahu harus kerja apa lagi."
Mendengar jawabannya, aku terpukul sekali. Beberapa hari aku tidak mau sekolah. Malu dengan teman-teman. Aku mengurung diri di kamar. Makan pun tak selera.
***
Hingga suatu siang, Bu Guru mendatangi rumahku. "Andi.. Andii." Terdengar jelas suaranya. Kubuka pintu dan seketika dia memelukku. "Ibu kangen, Nak. Kenapa gag masuk sekolah?"
"Andi malu, Bu" Kujawab perlahan. "Perkara itu? Sudah, jangan malu. Kamu tetap berharga, siapapun kamu. Besok sekolah ya, nanti ibu ngelindungi kamu dari Dodi. Yang penting belajar."Â Bu guru sepertinya menyadari kalau aku sudah tahu siapa sebenarnya ibuku.
Mendengarnya, aku sangat terhibur. Ada penolong di sampingku. Besoknya, aku memberanikan diri masuk sekolah. Segala ejekan kuabaikan. Aku hanya ingat kata bu Guru. "Kamu tetap berharga, siapapun kamu."
Sejak saat itu, yang di pikiranku hanya belajar, belajar, dan belajar. Aku mau memperbaiki nama baik keluargaku. Hingga akhirnya, aku lulus dengan prestasi tertinggi.
Aku pun mendapatkan beasiswa. Kulanjutkan sekolah hingga SMP, SMA, dan kuliah. Sekarang, aku bisa bekerja dengan baik. Ibuku di sana pasti bangga denganku.
"Jadi, bagaimana pendapatmu tentang ceritaku?" "Bapak hebat." Hanya dua kata terlontar dari bibir petugas kebersihan itu, sembari tangannya sibuk merapikan berkas dokumen di atas sebuah meja. Meja orang nomor satu di sekolah itu.