Besok, pemilihan Kepala Desa digelar. Beberapa warga sibuk mendirikan tenda, menyiapkan bilik, dan papan tulis untuk menghitung jumlah suara. Desa itu belum punya balai desa.
Sementara beberapa lagi terlihat santai nongkrong di warung burjo, bubur kacang ijo. Satu-satunya warung burjo yang buka dua puluh empat jam. Milik Kang Ujang.
"Mas, besok milih siapa?" Tanya Pak Sigit ke Mas Doni. Di desa itu, dia terbilang muda. Kendati sudah beristri, warga di sana terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mas. Bayangkan, menikah usia tujuh belas tahun.
"Belum tahu, Pak"
"Udah besok lho pemilihannya, masak belum ada yang cocok sih" Pak Budi menyindir.
"Kalau saya sih, milih Pak Andi. Dia program kerjanya bagus. Setelah saya baca, bila nanti terpilih, kita akan punya balai desa" Kang Ujang menyela. Sembari tangannya mengaduk kopi pesanan. Â
"Betul itu, Pak Andi bagus. Selain itu, dia akan aspal jalan sepanjang desa. Jadi nanti, gag ada lagi bebatuan jelek di sini" Imbuh Pak Sigit melengkapi pernyataan Kang Ujang.Â
Mas Doni terdiam. Dia orang yang kurang tertarik berdebat. "Bapak berdua tim sukses ya?" Celotehnya.
"Mana ada, Mas. Saya memilihnya, karena cocok saja dengan programnya. Kalau yang dulu, gag ada kerjanya. Eh, dia masih nekat nyalonin lagi" Jawab Pak Sigit sambil tangannya menerima kopi panas yang disodorkan Kang Ujang.
"Iya, betul tuh, sepakat. Yang dulu jelek banget kerjanya. Masak dia janji bangun balai desa, sampai sekarang gag jadi-jadi! Terpaksa deh, kita pilkadesnya di halaman rumah orang" Pak Budi menanggapi dengan berapi-api.
Mas Doni sedikit curiga. "Kalau yang menjadi alasan tidak memilih karena janji bangun balai desa tidak terjadi, apa bedanya dengan yang baru? Sekarang janjiin balai desa juga, bukan?" Dia bergumam dalam hati.