menunggu adalah hal yang paling membosankan di hidupmu dan tidak kamu suka. Dengan berani kutegaskan, aku berbeda denganmu.
Aku ingin berbicara padamu tentang persepsimu yang salah itu. Kamu pernah bilang bahwaTakada yang membosankan dari menunggu. Ketika aku menunggu seseorang yang sedang berbelanja di pasar, aku hanya diam. Duduk di depan toko bangunan itu. Aku sangat paham, dia tak pernah sebentar bila berbelanja.
Dari toko ke toko, dia semangat melakukan penelitian tentang harga. Hanya membeli satu barang, sepuluh toko minimal dia kunjungi. Dia cek mana harga yang paling murah, itu yang dibelinya.
Padahal dia juga tahu, kawanan penjual di sana sering bekerja sama menetapkan harga yang sama untuk barang tersebut. Tetapi, dia tidak kehilangan akal. Ditawarnya mendekati separuh harga, dan dilaksanakannya modus pura-pura meninggalkan toko.Â
Aku heran sekaligus tertarik. Dari kejauhan kulihat, ada juga penjual yang memanggilnya dan memberikan barang itu padanya, kendati harganya separuh. Modusnya berhasil. "Apa mungkin mereka menaruh harga dua kali lipat tinggi di awal?" Tanyaku dalam hati.
Sembari memperhatikan tingkahnya berbelanja, aku menunggu. Berjam-jam. Bosan? Tidak. Kakiku terlihat diam, tapi otakku tidak. Kubiarkan otakku berkelana mencari inspirasi, seperti apa anakku nanti.
Anak yang nanti meneruskan keahlianku mengajar, sudah pasti akan kudidik dan kusekolahkan di universitas ternama. Jurusan pendidikan. Iya, sebagian besar keluargaku memang tenaga pendidik. Aku termasuk.
Aku membayangkan anakku sekolah hingga mencapai level doktor, kuliah di luar negeri. Bukan maksudku meremehkan pendidikan dalam negeri, tetapi dengan kuliah di luar, aku melatih mentalnya untuk mandiri di negeri orang.
Dari penghasilan yang kuperoleh, telah kusisihkan sebagian untuk biaya sekolahnya hingga doktor. Hebat bukan, aku? Kendati anakku masih di awang-awang, aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Termasuk kala itu, di saat aku menunggu.
Selain itu, aku juga akan mencintai dengan seluruh ragaku, ibu dari anakku itu. Yang memberikanku satu lagi calon tenaga pendidik untuk membangun bangsa ini. Sejalan dengan cita-citaku memajukan pendidikan negeri ini.Â
Dengan pemikiran seperti itu, tak terasa waktu menunggu usai. Aku bahkan merasa kekurangan waktu. Dia datang menghampiriku dengan kantong-kantong belanjanya. Aku bahagia, bisa memanfaatkan waktu menunggu dengan mempersiapkan masa depanku. Di otakku.