Jujur, baru kali ini aku menonton film seperti ini. Ndeso, wakakaka.... Bila kemarin tertarik dengan adegan penuh ke-cerewet-an ibu-ibu, sekarang tanpa dialog alias bisu. Berputar 180 derajat.
Kendati tidak berbicara dengan kata, aku bisa menangkap pesannya.
Film garapan Rian Apriansyah ini, berhasil menyabet beberapa penghargaan. Waow.... Di antaranya, Winner Malang Film Festival 2018, 3rd Winner Puskat Film Festival 2018, dan lainnya.
Di kalimat pembuka, dinyatakan oleh Rian bahwa film ini dipersembahkan untuk ibu dan gurunya di Bangka, dan seluruh anak-anak di daerah terpencil di Indonesia, yang berjuang untuk menempuh pendidikan.
Dikisahkan sekilas, ada seorang anak tinggal di daerah terpencil, pelosok di tengah hutan. Setelah bangun pagi, mandi di kali, dan sarapan mi rebus, dia kemudian pergi bersekolah.
Medan tempuhnya tak semudah dibayangkan. Berjalan kaki melewati hutan, menyeberangi sungai dengan perahu, menumpang motor orang di tengah jalan, hingga akhirnya ketemu jalan besar dan sampai di sekolah.Â
Semua terlihat dilaluinya tanpa alas kaki. Karena sudah tentu, sepatunya rentan rusak bila dipakai dari rumah, untuk perjalanan yang dilakukan setiap hari dengan medan seperti itu ke sekolah.
15, 7 km dia tempuh pagi itu, dengan bersemangat.Â
Aku pribadi bila menjadi dia, tak bisa kubayangkan masih adakah sisa energi untuk belajar, sementara semuanya sudah terkuras di perjalanan. Yang ada mungkin, di sekolah tinggal tidur saja. Bayangkan, sejauh itu menempuh perjalanan, mayoritas berjalan kaki, pasti lelah sekali.
Ada pula kisah anak bergelantungan di jembatan, menyeberangi sungai, sekadar pergi bersekolah. Keselamatan nyawa dipertaruhkan untuk menimba ilmu. Sungguh, tiada kata yang pantas disematkan bagi mereka selain tangguh. Kendati lokasi terpencil, medan perjalanan berat, tetap bersemangat ke sekolah.