Pernahkah kita berutang kepada orang? Atau mungkin kepada bank? Lagi bokek misalnya, pinjam duit buat makan. Ketika tabungan tidak mencukupi, sementara perlu buat beli rumah, maka kita ajukan pinjaman ke bank. Sepertinya ada yang seperti itu.Â
Berani berutang, tentunya berani membayar. Setelah mempertimbangkan potensi kemampuan finansial, kita mantap untuk mengajukan utang. Tanpa diminta pun, bank akan mengajukan pertanyaan seputar itu. Sudah prosedur.
Nah, saya tidak akan bahas lebih lanjut tentang utang kepada pihak lain. Ini hanya tulisan tentang utang kepada pihak sendiri. Bukan utang yang berupa uang, tetapi utang komitmen pada diri sendiri.
Utang Janji kepada Diri Sendiri
Covid19, saya dihadapkan pada aturan kerja baru, yaitu bekerja dari rumah. Bukan saya saja sih, kita semua, wkakaka. Selama bekerja, saya pasti menggunakan gawai. Di luar bekerja, seperti bermain, komunikasi dengan keluarga, pesan makanan online, dan sebagainya, masih menggunakan gawai. Tiada detik tanpa gawai.
GegaraDi sisi lain, pergerakan tubuh terasa sedikit sekali. Kepraktisan dari gawai memang menimbulkan kemalasan. Kemalasan untuk bergerak. Makan jalan terus, cemilan berkali-kali, sudahlah, perut mulai maju beberapa senti. Berhasil mendahului karier yang dari dulu tetap begini.
Atas dasar ini, saya mengucap janji pada diri untuk mengurangi makan dalam sehari, khususnya makan malam tidak lagi. Ada juga janji kedua, yaitu janji tidur cepat di waktu malam, agar ketika bangun pagi, tubuh terasa lebih bugar. Cukup istirahat.
Baik pertama maupun kedua, pada kenyataannya, sering kali saya gagal bayar janji. Setiap malam, bila lewat tukang nasgor kesukaan, diri ini sulit terkendali dan memilih membelinya. Ketika hendak tidur malam, gawai pun selalu berhasil menjauhkan diri dari tepat bayar janji. Gagal melunasi utang. Hufftt...
Begitu seterusnya, janji tinggal janji, semakin jauh dari kata ditepati.