Pukul 21.00 WIB
Malam itu saya putuskan untuk keluar kosan sejenak, mencari udara segar. Berbekal masker dan tas hitam berisi dompet dan ponsel, saya kayuh sepeda mengitari sebagian jalanan ibu kota. Enam puluh menit berlalu, tak terasa keringat telah membasahi tubuh. Kelaparan pun tidak ketinggalan ikut mengganggu.
Entah kenapa, malam itu teringat seorang tukang bakso langganan yang selalu saya datangi sebelum Covid19 melanda. Karena lama tidak berjumpa, saya penasaran bagaimana keadaannya sekarang. Masih jualan atau tidak. Maka lekaslah sepeda ini beranjak ke tempatnya.
Setiba di lokasi, ternyata beliau jualan. Yeaaayyy, rasa rindu terobati, rasa lapar semakin meninggi. Bagaimana tidak? Bakso-bakso besar yang berurat, sangat enak, dan lagi murah meriah itu, terpampang di depan mata saya.
Namanya pak Legiman. Seorang laki-laki asal Solo, berumur 61 tahun, yang mengadu peruntungan di ibu kota. Di sini, beliau tinggal di kontrakan kecil. Sementara itu, istri, kedua anak, dan cucu tinggal di kampung halaman.
Saking sudah lama tidak bertemu, beliau langsung menghampiri saya dan mengajak bersalaman. Refleks kali yak, wkakakaka. Seketika itu juga saya tolak dan beliau melipat tangannya kembali. Maaf ya pak, Corona.
Karena lapar sudah memuncak, saya pun langsung memesan semangkuk bakso. Tanpa perlu bertanya, bapak menyiapkannya khusus seperti yang biasa saya pesan.Â
Kosongan tanpa mi, banyak tauge dan sawi, pakai tahu tanpa penyedap rasa, ditambah bumbu bawang dan sambal pedas, serta bakso urat bukan telur. Iya, Bapak sudah hafal bakso saya.
Untuk melepas rindu, kami pun bercakap. Berikut percakapannya (sebetulnya lebih enak pakai bahasa Jawa, berhubung yang baca nasional, saya terjemahkan dengan bahasa Indonesia):
S Â Â : Saya
PL : Pak Legiman
S Â Â : Bagaimana Pak kabarnya? Lama nih tidak berjumpa.
PL : Sehat Mas, Alhamdulillah. (berbicara sambil mengenakan masker)
S Â Â : Saya pesan semangkuk bakso ya Pak. Biasa.
PL : Oke.