Memang ada satu tips yang biasa diberikan oleh guru vokal kepada para penyanyi yang sama sekali "buta" tadi. Tips-nya adalah dengan membayangkan seolah-olah penyanyi sedang mengalami kejadian tersebut, kemudian memperkirakan apa perasaan yang bergejolak, dan makna tersirat apa yang hendak disampaikan.Â
Metode ini ampuh untuk membuat penyanyi masuk ke dalam lagunya, tetapi tetap saja kalah dengan penyanyi yang sudah pernah merasakan kejadian dalam lagu tersebut. Si perasa.
Bagi si perasa, secara tidak sadar ketika makna lagunya sedih, dengan tidak diminta dan tidak dengan pura-pura, dia langsung meneteskan air mata ketika menyanyikannya.Â
Ini tidak perlu diimajinasikan, karena sudah natural pasti terjadi. Nah, di sini, pesan dan emosi lagu lebih bisa tersampaikan secara efektif kepada pendengar, ketika lagu dinyanyikan oleh perasa, bukan si pemimpi.
Dan sebetulnya, yang paling tahu tentang makna yang mendalam dan rasa yang tersirat dari sebuah lagu adalah pencipta lagu itu sendiri, ketika dia tuliskan lirik tersebut dari sumber pengalaman pribadinya.
Yang terbaik adalah ketika penyanyi bisa bernyanyi dengan teknik yang baik, tanpa cacat, sekaligus juga berhasil menyampaikan pesan dengan emosi yang tepat, kepada para pendengar. Adakah yang seperti ini? Ada. Contohnya siapa? Pembaca jawab sendiri ya, hehe.
Akhirnya, tidak ada yang salah dengan menjadi pemimpi ataupun perasa. Kita perlu bermimpi untuk menggambarkan apa yang ingin kita capai dalam hidup ini. Kita pun perlu merasakan pengalaman nyata dalam upaya mencapai mimpi, agar mimpi tersebut tidak hanya sekedar khayalan, tetapi sukses menjadi kenyataan.
Seperti tulisan dalam kalimat bijak yang berkata, "Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?"
Jadi, cukupkan diri kita menjadi pemimpi, rasakan pengalamannya, dan jadilah inspirasi bagi sesama dengan berbagi ceritanya.
Btw, pembaca termasuk cenderung yang mana nih, pemimpi atau perasa? Atau malah kombinasi dari keduanya? Hehe.
Jakarta,