Kebijakan pembatasan penggunaan plastik tentu saja perlu diapresiasi. Hal itu mengingat betapa plastik telah menjadi salah satu problem dalam agenda pelestarian lingkungan karena secara kimiawi, konon, plastik termasuk senyawa yang sulit untuk diuraikan oleh bumi. Akan tetapi, niat baik harus pula diwujudkan ke dalam langkah yang tepat pula. Terlebih apabila kita ingat betapa dalam lapangan hukum tata usaha negara dikenal apa yang disebut sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, di mana Asas Kepastian Hukum adalah salah satu elemennya.
Dalam konteks yang demikian itu, Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar perlu mendapat perhatian. Menurut ketentuan Pasal 7 UU No.: 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, surat edaran menteri tidak termasuk peraturan perundang-undangan.
Padahal, SE Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 nyata-nyata membebani warga negara dengan kewajiban tertentu, bahkan menyangkut pungutan finansial. Keberlakuan SE tersebut terasa makin problematik apabila kita ingat ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” serta Pasal 23C UUD 1945 yang berbunyi: “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.”
Kita tahu bahwa UU No.: 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah tidak memberikan wewenang kepada menteri yang membidangi urusan lingkungan untuk melakukan pungutan yang bersifat wajib sebagaimana diberlakukan oleh SE Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016. Hal itu konsisten dengan ketentuan Pasal 7 UU No.: 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa bendaraha umum negara adalah menteri keuangan. Oleh karena itu, dasar hukum bagi pungutan finansial terhadap penggunaan plastik perlu dicari pada wilayah hukum yang lain!
Agak mengherankan juga mengapa UU No.: 11/1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UU No.: 39/2007 justru luput dari perhatian dalam agenda pembatasan penggunaan plastik. Pasal 1 angka 1 UU tersebut di atas berbunyi: “Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Sedangkan barang-barang yang dikenai pungutan yang demikian itu disebut sebagai Barang Kena Cukai (BKC).
Adapun kriteria barang-barang yang dapat ditetapkan sebagai BKC dirumuskan secara lebih rinci dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.: 39/2007 yang berbunyi: “Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik: a. konsumsinya perlu dikendalikan; b. peredarannya perlu diawasi; c. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau d. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.”
Dari rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.: 39/2007 terlihat dengan terang-benderang betapa klausula pada huruf c yang berbunyi: “pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup” dapat dijadikan dasar hukum untuk menggolongkan plastik sebagai BKC.
Setidaknya ada 3 (tiga) problematika yuridis yang terlesaikan apabila pungutan finansial dalam rangka pemakaian plastik berlangsung dalam regim hukum cukai. Pertama, pada tingkat legal-konstitusional pungutan itu dilaksanakan dengan kekuatan produk hukum berbentuk undang-undang dalam ini UU Cukai. Kedua, pungutan itu dilakukan oleh menteri keuangan yang memang mengemban tugas sebagai bendaraha umum negara.
Ketiga, pungutan itu berlangsung dalam suasana equal treatment, di mana setiap penggunaan plastik senantiasa dikenai extra-charge dalam bentuk cukai, karena setiap plastik yang beredar di pasar telah terlebih dahulu dipungut cukai berdasarkan dan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam UU Cukai. Praktek equal treatment pelaksanaan pungutan itu dalam suasana SE Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 patut dipertanyakan, karena efektivitas pengawasannya terutama di pasar-pasar tradisional sangatlah pantas untuk dipertanyakan.
Oleh karena itu, saya mengusulkan supaya kebijakan Kantong Plastik Berbayar dilaksanakan oleh Pemerintah dalam suasana hukum (regim) UU Cukai yang saat ini berlaku,-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H