3. Sifat-hakekat negara vis--vis warga negara (apakah negara menurut Pancasila adalah sekedar wasit yang bersikap pasif dan netral ataukah terlibat aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat).
Gugus persoalan yang kedua adalah menyangkut KOHERENSI INTERNAL antar-sila dalam Pancasila, seperti: Apakah sungguh-sungguh asas ketuhanan dapat bersanding dengan asas nasionalisme? Apakah sila ketuhanan tidak saling meniadakan dengan sila kemanusiaan (humanism)? Apakah asas nasionalisme tidak me-negasi-kan asas kemanusiaan? Sejauhmana asas demokrasi dapat seiring-sejalan dengan asas ketuhanan?Â
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hendaknya tidak dijawab dalam langgam dogmatik-simplistik dalam bentuk: "bisa" atau "tidak bisa". Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut hendaknya diperoleh dengan terlebih dahulu memeriksa koherensi dari unsur-unsur konstitutif dari tiap-tiap gagasan besar itu dan kemudian melakukan perbandingan antar gagasan-gagasan besar tersebut.
Adapun gugus persoalan yang ketiga adalah MENTRANSENDENSI DIRI DARI TAFSIR ORDE BARU atas Pancasila. Artinya, bagaimana membebaskan diri dari tafsir a la Orde Baru atas Pancasila untuk kemudian menawarkan suatu tafsir yang lebih mampu memfungsikan Pancasila sebagai pedoman dan pandangan hidup sehari-hari di negeri ini.
Upaya transendensi dari tafsir Orde Baru menjadi suatu kebutuhan, kalau bukan keharusan, manakala kita menyadari betapa 36 butir Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yang dipopulerkan oleh Orde Baru diwarnai dengan ambivalensi sepanjang menyangkut hubungan antara individualitas vis--vis masyarakat serta amat kental dengan anasir-anasir fasisme dalam rumusan tentang hubungan antara negara vis--vis warga negara.
Gugus persoalan yang keempat adalah menyangkut rumusan PANCASILA DALAM UUD 1945 PASCA-AMANDEMEN. Kita tahu bahwa secara substantif, sila-sila Pancasila menjadi pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 walau tidak secara letterlijk terdapat istilah Pancasila. Penjelasan UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran tersebut: 1. meliputi suasana kebatinan UUD; 2. mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee); dan 3. menciptakan pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya.
Kini pasca-amandemen UUD 1945, Penjelasan UUD 1945 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, kini tiada jembatan yuridis-konstitusional yang sah dan baku untuk menghubungkan sila-sila Pancasila dengan Batang Tubuh UUD 1945, di mana sila-sila Pancasila sesungguhnya secara substantif terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, menurut hemat saya, agenda penting BPIP adalah menemukan atau merekonstruksi jembataran yuridis-konstitusional itu.
Sedangkan gugus persoalan yang kelima adalah TAFSIR PANCASILA DALAM LINGKUNGAN ARUS EKONOMI-POLITIK GLOBAL yang berlaku saat ini. Kita tahu betapa lingkungan ekonomi politik global kini sangat kuat diwarnai oleh arus neoliberalisasi, suatu paham dan kekuatan ekonomi-politik yang menjadikan pasar sebagai institusi paling efisien.
Oleh karena itu paling absah dalam pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi. Neoliberalisme tidak saja menghendaki minimalisasi peran negara dalam aktivitas ekonomi, tetapi juga memandang manusia dalam perspektif individualisme yang ekstrim.
Dengan mengelaborasi kelima gugus persoalan di atas secara tuntas hingga tingkat yang operasional diharapkan akan mampu menjadikan Pancasila sebagai ideologi yakni seperangkat gagasan yang membentuk kesadaran individu-individu dalam tatanan sosial yang bernama Indonesia sedemikian sehingga individu-individu tersebut menjadi subyek yang sadar tentang apa yang ada dan apa yang tidak ada, apa yang baik dan apa yang tidak baik, serta apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin dalam sistem sosial-politik bernama NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA,-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H