Pernyataan Capres Prabowo Subianto tentang besarnya kebocoran keuangan negara telah menimbulkan kontroversi. Tak kurang dari Menteri Keuangan M. Chatib Basri dan Menko Perekonomian Chairul Tanjung merasa perlu menyangkal pernyataan Prabowo Subianto. Akan tetapi, silang-pendapat tetap tak berhenti juga!
Apa yang terlupa dalam perdebatan itu, sesungguhnya, adalah pengertian tentang keuangan negara. Dalam kepustakaan tentang Hukum Anggaran Negara, keuangan negara dilihat dari segi ruang lingkupnya memang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1). Keuangan negara dalam arti luas; dan 2). Keuangan dalam arti sempit. (lihat, Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: PT Gramedia, 1986, hal. 51-53).
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, ---yang semasa hidupnya pernah menjadi Guru Besar Hukum Anggaran Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia---, keuangan negara dalam arti luas meliputi: APBN, APBD, unit-unit usaha negara, dan seluruh kekayaan negara. Sedangkan keuangan negara dalam arti sempit adalah APBN.
Relevansi pembedaan keuangan negara yang demikian adalah dengan ruang lingkup pertanggungjawaban keuangan negara. Dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: Keuangan negara dalam pengertian yang manakah yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah? Pada titik ini kita berhadapan dengan problematika!
UU No.: 17/2003 tentang Keuangan Negara, tepatnya Pasal 1 angka 1, merumuskan Keuangan Negara sebagai: "semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut." Apabila rumusan di atas dan rumusan ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU tersebut di atas kita cermati, kita dapat menduga bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara adalah keuangan negara dalam arti luas.
Akan tetapi, yang dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah kepada DPR adalah keuangan negara dalam arti sempit sebagaimana dimaksud dalam UU No.: 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal itu dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 angka 1 UU Perbendaharaan Negara yang berbunyi: "Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD."
Di sisi yang lain, UU No.: 15/2006 tentang BPK ternyata menganut pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni tidak sebatas APBN dan APBD. Hal itu dapat diketahui dari rumusan keuangan negara dalam Pasal 1 angka 7 UU BPK yang ternyata bunyinya persis sama dengan Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara.
Apabila kita lihat volume kebocoran yang disebutkan oleh Prabowo Subianto serta konteks pembicaraan di mana pernyataan itu diberikan, maka kita dapat mengerti betapa YANG DIMAKSUDKAN OLEH PRABOWO SUBIANTO ADALAH KEUANGAN NEGARA DALAM ARTI LUAS, yakni selain APBN dan APBD termasuk juga kekayaan BUMN dan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia.
Kontroversi yang demikian itu sesungguh telah lama terjadi pada tingkat akademisi. Kalau Prof. Arifin Soeria Atmadja cenderung mengartikan keuangan negara dalam arti luas; maka Prof. Harun Alrasid dan Prof. Wirjono Prodjodikoro, ---keduanya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia---, mengartikan keuangan negara dalam arti sempit (lihat, Harun Alrasid, "Pengertian Keuangan Negara", dalam Majalah Keuangan, No.: 93/9-1979, hal. 13-15; Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta, 1977, hal. 109).
Pengertian keuangan negara dalam arti luaslah yang dianut ketika BPK beberapa waktu yang lalu melontarkan niatnya untuk melakukan audit terhadap usaha-usaha tambang dan pengelolaan hutan. Demikian pula, apabila kita masih ingat, ketika PT Pertamina (Persero) merasa perlu mendapatkan persetujuan dari BPK untuk menaikkan harga jual LPG beberapa waktu yang lalu, sesungguhnya, juga didasarkan pada pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni mencakup kekayaan BUMN.
Sesungguhnya, baik pengertian keuangan negara dalam arti luas maupun dalam keuangan negara dalam arti sempit sama-sama benar, dalam arti masing-masing mendapatkan landasan yuridisnya. Dan adalah sesuatu yang dapat diterima sebagai kebenaran apabila kerugian negara dihitung berdasarkan pengertian keuangan negara dalam arti luas, sebagaimana dikemukakan oleh Prabowo Subianto dalam Debat Capres baru-baru ini. Bagaimana pun, kekayaan alam yang berada di wilayah Indonesia bukanlah res nullius, tanpa pemilik; melainkan adalah kekayaan Negara RI yang menurut UU Keuangan Negara termasuk dalam ranah keuangan negara.