Mohon tunggu...
mohamad hopip
mohamad hopip Mohon Tunggu... -

praktisi radio siaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menebar Ranjau, Menghalau Badai

24 Februari 2014   18:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393216647533733393

[caption id="attachment_324314" align="alignleft" width="150" caption=" Firdaus, bersama pengurus PWI Banten, saat diterima SBY di Istana Negara (foto dok.PWI Banten)"][/caption]

Gaya bicaranya seperti Ahok meledak-ledak, tanpa tendeng aling, keras dan tajam menusuk hati,  tak jarang dengan gaya bicaranya tersebut banyak yang tadinya kawan menjadi lawan, yang sebelumnya lawan menjadi musuh abadi;  sedikit yang mampu memahami berbagai kebijakannya namun banyak  yang merasakan manfaat atas didikan kerasnya itu, terutama para aktivis pelajar dan mahasiswa Lampung yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berseberangan dengan Soeharto dimasa orde baru, hal itu juga dapat dirasakan wartawan yang bergabung di PWI Banten. PWI Banten yang dulu nyaris tidak dikenal orang, dengan bangunan yang kumuh, tak terawat kini menjadi sebuah bangunan megah dan tertata rapih secara fisik dan struktural dengan program-program yang realistis dan tepat sasaran terutama dalam hal peningkatan kualitas profesionalisme wartawan dengan berbagai pelatihan dan pendidikan yang dilaksanakan.  "Sakit memang, namun berkat gayanya seperti itu, kini saya bisa mandiri, percaya diri menjadi jurnalis, bahkan kini saya telah lewati uji kompetensi wartawan tingkat utama", ujar Opan Redaktur Majalah Teras saat berbincang dengan penulis.

Ideologi yang terbangun sejak masa kuliah, menjadikan Firdaus terdidik secara alami dan lingkungan, tumbuh kritis dan dinamis.
Pernah suatu ketika lewat sebuah kolom editorial yang ditulisnya di Majalah Teras berjudul "Sebuah Negeri Antah Berantah" mengisahkan tentang kepala pemerintahan yang korup di sebuah negeri antah berantah, namun berkaitan  erat dengan kehidupan nyata. Tak pelak atas tulisannya tersebut Aat Syafaat yang waktu itu sebagai Wali Kota Cilegon murka, dan menjadikan Firdaus sebagai TO (target operasi) dan harus ditangkap dan di halalkan darahnya. Namun Firdaus tidak ciut, dia tetap aktif menulis dan tak bosan untuk terus mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak pro rakyat. Dahlan Iskan seniornya di PII dan PWI yang sekarang sebagai Menteri BUMN yang juga pemilik Jawa Post Grup disebutnya banyak memberikan inspirasi dan pelajaran baginya bagaimana menjadi seorang jurnalis yang profesional dan membangun perusahaan media massa menjadi sebuah industri.

Sering terjadi dikotomi antara wartawan media massa harian dengan media massa mingguan atau bulanan; disinilah permasalahannya, banyak keraguan muncul tatkala Firdaus terpilih secara aklamasi untuk memimpin PWi Banten pada 2010 silam, karena dia berasal bukan dari media harian melainkan berasal dari media bulanan yaitu Majalah Teras. namun  Firdaus tetap fokus dengan program kerjanya memimpin organisasi PWI Banten, berbagai kritikan yang datang bertubi-tubi dia hadapi dengan fokus bekerja membenahi roda organisasi, dan membangun jaringan dengan berbagai institusi terutama dengan pemerintah Propinsi Banten. Memposisikan diri dekat dengan pemerintah bukan berarti meletakan jiwa profesionalisme dan mengabaikan sikap kritis dan lepas kontrol namun tetap menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun