Beredar kabar sejumlah penyidik termasuk Novel Baswedan katanya tidak lulus uji wawasan kebangsaan yang menjadi syarat untuk jadi pegawai negeri sipil (PNS) padahal itu pintu masuk untuk tetap bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan ketentuan.
Saya termasuk yang setuju bahwa wawasan kebangsaan diperlukan bukan saja oleh PNS tapi setiap warga negara. Tapi bagaimana materi yang diuji dan metode mengujinya itu yang kiranya jadi soal. Belum lagi bagaimana pembobotannya terkait dengan variabel penilaian lain!? Itu juga jadi pertanyaan.
Untuk tiap warga negara, yang membedakan tentu pada passing gradenya. Dimana bagi pejabat negara harusnya lebih tinggi daripada profesi lain. Di mulai dari presiden, pimpinan DPR dan MPR, pimpinan lembaga yudikatif kehakiman, kejaksaan, kepolisian termasuk tentu TNI.
Asumsi saya semua pejabat tersebut telah lulus atau dianggap lulus melalui ujian. Sehingga layak untuk jadi pejabat atau aparatur negara. Tapi kalaupun tidak, mestinya ada pembinaan khusus apalagi kepada aparatur negara yang memang sudah berkecimpung lama di bidangnya. Mungkin lewat kursus atau pelatihan wawasan kebangsaan atau lainnya. Tidak langsung diberhentikan.
Sampai sekarang saya sendiri tidak tahu isi UWK tersebut. Jadi tidak bisa mengukur apa dan bagaimana ruang lingkup wawasan kebangsaan yang dimaksud. Apakah seperti yang disinyalir beberapa politisi yaitu sampai pada hal-hal yang dapat menunjukkan orientasi politik dan ideologi tertentu!? Maklum juga tidak banyak yang tahu, kalau pertanyaannya dibocorkan tentu bukan ujian namanya.
Yang kedua tentang kompetensi. Sebanyak 75 penyidik yang tidak lolos UWK itu umumnya tentu berpengalaman dibidangnya.
Selain karena sudah terbukti mampu menangani kasus-kasus yang selama ini silih berganti diberitakan, juga telah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang mempertanyakan, bagaimana seorang yang telah lulus Akpol tidak lulus UWK!?
Meski secara kritis keberadaan KPK juga disoroti karena dianggap lembaga Superbody yang juga perlu diawasi. Namun dengan adanya UU no 19/2019 tentang Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang baru, berbagai perubahan termasuk keberadaan dewan pengawas yang sesuai namanya berwenang dalam mengawasi perilaku para pegawai KPK.
Jadi kompetensi seorang penyidik KPK tentu terkait dengan kemampuan menyidik kasus korupsi dan itu merupakan penilaian profesional yang mestinya memiliki bobot tertinggi.
Seperti pemain sepakbola naturalisasi, yang skill "mengolah bola"-nya menjadi penilaian utama, dibanding kemampuannya berbahasa Indonesia untuk dapat memperkuat timnas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H