Mohon tunggu...
hony irawan
hony irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat Advokasi dan Komunikasi Isu Sosial, Budaya dan Kesehatan Lingkungan

pelajar, pekerja,teman, anak, suami dan ayah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Sanitasi dengan Gembira, Belajar dari Commuter Line

30 Maret 2019   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2019   10:57 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Bang Ide

(Tinjauan Penerapan "Collaborative Governance" dalam Pembangunan Sanitasi Indonesia)

Beginilah akibatnya kalau anggota "Roker" (rombongan kereta) ngomongin pembangunan sanitasi...

Memang beda urusan transportasi umum kereta api dengan urusan "jamban" (air limbah) dan urusan sampah. Meski sama-sama merupakan kebutuhan dasar sehari-hari, transportasi umum lebih langsung berdampak pada pendapatan ekonomi penggunanya, ketimbang urusan air limbah dan sampah yang secara tidak langsung berdampak ekonomi. Namun saya kira ada beberapa catatan pembelajaran yang bisa jadi inspirasi untuk pembangunan sanitasi.

Sebagai penumpang kereta api Bogor-Jakarta kawakan, saya merasakan betul bagaimana perubahan besar perilaku penumpang sejak dilakukan pembenahan menjadi Commuter Line. Sekarang tidak lagi kita jumpai penumpang yang bisa keluar-masuk stasiun tanpa membayar. 

Jangankan naik di atap, yang duduk di lantai kereta saja dapat teguran petugas ! Meski ada satu dua masih dijumpai penumpang yang makan dan minum, namun masih jauh lebih baik ketimbang dulu, dimana pedagang asongan bisa berjualan bukan hanya di dalam stasiun, tapi juga di dalam kereta yang sedang berjalan. 

Sekarang meski masih juga ada beberapa kasus pencopetan, namun tidak seperti dulu, dimana gerombolan copet sepertinya terorganisir sedemikian rupa, hingga mampu mengecoh korbannya dengan leluasa.

Hasilnya, meski dengan investasi yang besar, dengan sistem yang didukung sarana dan prasarana memadai, kebocoran pendapatan akibat banyak penumpang yang tidak membayar dapat dihentikan. Sehingga investasi besar itu dinilai lebih menguntungkan dengan pendapatan yang diperoleh. Dan yang lebih penting, penumpang juga merasa tidak keberatan untuk membayar, dengan pelayanan yang lebih pasti, cepat, aman dan nyaman.

Kalau dilihat dari aspek komunikasi, dulu banyak sekali disampaikan himbauan-himbauan agar tidak naik di atap kereta, lengkap dengan perangkat pendukung berupa jeruji besi yang tajam, petugas dengan alat pemukul, bahkan sampai pernah disemprot dengan cat. Namun itu hanya efektif di stasiun dimana penertiban itu dilakukan. Setelah kereta  keluar dari stasiun itu, penumpang kembali naik di atas atap kereta.

Memang secara teori, perubahan perilaku tidak cukup dengan meningkatkan kebutuhan berkereta api yang aman lewat kegiatan komunikasi saja, namun juga perlu sarana dan prasarana pendukung, serta aturan dan penegakan aturan yang jelas dan tegas. 

Bahkan tanpa perlu banyak melakukan himbauan-himbauan tentang bahaya naik di atap kereta, dengan sarana dan prasarana pendukung termasuk jumlah kereta yang ditambah, dan petugas yang siap menindak, sekarang mungkin cuma "orang gila" saja yang naik di atas kereta.

Mungkin kelak kita akan bisa mengatakan itu juga dalam hal sanitasi. Bukan cuma jargon tapi keniscayaan, "cuma orang gila yang buang air besar dan sampah sembarangan !".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun