[caption id="attachment_84742" align="alignleft" width="364" caption="Negeri Ema dan Kota Ambon foto pribadi"][/caption] Cerita berawal sekitar akhir abad 14 menjelang kejatuhan Majapahit,kerajaan terbesar di Nusantara saat itu. Alkisah,karena menyadari bahwa kekuasaannya semakin terancam,raja Majapahit merupaya mencari dukungan ke berbagai pihak. Salah satu adalah mencari dukungan dari para raja-raja yang berada jauh di kawasan Timur Nusantara. Diutuslah seorang putri kerajaan bernama Nyai Mas Kenongo Soetarmi untuk menemui seorang Kapitan (sebutan untuk pepimpin saktimandraguna) bernama Tanihatuila yang menguasai wilayah Leitimur,tepatnya berdomisili di negeri Huaressi Rehung yang kelak dikenal dengan nama negeri Ema. Dalam pertemuan itu putri menawarkan aliansi kerjasama keamanan dan perdagangan,namun semuanya ditolak oleh sang Kapitan. Tentu sang putri kecewa dan merasa gagal menjalankan misi yang diembankannya. Putri merasa malu apabila harus kembali dengan tangan hampa,dia memutuskan untuk menuju pertapaan abadi berbekal ilmu dari sang guru. Sebelum pergi,putri meminta pungawanya mengambil salah satu kendi yang selama ini menemaninya dalam perjalanan dari tanah Jawa dan dijadikan tempat menampung air minum. Kendi tadi diserahkan kepada salah seorang Malesi Soa-Lisa (perwira perang) dengan pesan supaya kendi itu di letakan di sekitar Losaru. Niscaya kendi itu akan mengeluarkan air dan menjadi tanda sejarah bagi anak cucu turun temurun. Malesi Soa-Lisa adalah orang pertama yang bertemu putri sebelum diantar menemui sang Kapitan. Sebagai tanda terima kasih,putri juga memberikan sebatang tombak pusaka dan seperangkat alat makan pinang sirih. Semuanya masih tersimpan dan terawat dengan baik sampai saat ini di rumah salah satu keturunan Malesi Soa-Lisa.
Mata air Majapahit terletak di Losaru,suatu tempat di negeri (desa) Ema yang terletak di ketinggian sekitar 600 m dpl. Negeri Ema dipimpin oleh seorang Raja (sebutan untuk kepala desa),terletak di Kecamatan Leitimur Selatan kota Ambon. Perjalanan menuju desa Ema ditempuh tidak kurang dari 2 jam. Satu jam pertama perjalanan ke sana dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau empat. Tapi seperti umumnya desa terpencil di negeri ini,pemerintah setempat kurang memperhatikan sarana jalan umum. Kendaraan roda empat hanya sampai di kaki bukit negeri Ema,satu jam perjalanan selanjutnya ditempuh dengan berjalan kaki menelusuri jalan setapak yang terjal. Anda yang berpenyakit jantung sebaiknya jangan mengunjungi desa ini. Pendakiannya begitu melelahkan,dengkul dan dagu seakan bertemu saat kaki melangkah menaiki jalan bekas air hujan yang oleh penduduk “dimodifikasi” menjadi akses menuju desa. Apabila hujan,harus ekstra hati-hati karena licin dan berjalan di atas air dan tanah merah. Maklumi saja,tidak ada semen apalagi aspal sebagai pengerasan,semuanya jalan tanah asli yang dicut membentuk tanjakan,berbaur dengan akar pohon. Sepeda motor harus melewati rute memutar yang lebih jauh sekitar beberapa ratus meter. Kondisinya sama dengan jalan tanjakan setapak tadi,tanpa aspal sebagai pengerasan. Hanya pengemudi yang telah terlatih berakrobat mampu menembus medan yang sulit ini.
[caption id="attachment_84743" align="alignleft" width="300" caption="Jalan setapak menuju mata air"]
[caption id="attachment_84744" align="alignleft" width="400" caption="Di sinilah mata air bersumber"]
Walaupun telah berusia berabad-abad silam,sumber air Majapahit tetap mengalir tidak pernah berhenti sampai sekarang. Sekadar memenuhi kebutuhan penduduk desa akan air bersih yang semakin langka,terutama bagi penduduk kota besar seperti Jakarta. Air Majapahit merupakan kebanggaan sekaligus sumber daya alam yang bernilai sejarah bagi peduduk negeri Ema di Ambon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H