Kota Soe, tempat dimana
engkau pernah jatuh
dan bayanganmu begitu dekap di dadaku.
O, lampu-lampu
laron-laron yang mengitari mercury di persimpangan dan gang-gang–
tempat kapan kita jumpa
dan sepotong janji yang kini berubah dusta.
Hujan menderas di Kota Soe
meluapi sungai-sungai
menumbangkan bibit-bibit yang hendak disemai
menjelmakan kerinduan padamu
yang tak pernah selesai.
Dingin merambat ke sendi-sendi
mengingatkan tubuh yang makin sepi.
Angin bertiup begini kencang.
Daun-daun bersidekap di jendela.
Simpang menuju Taman Bu'at, Kampung rote, dan Nifuboko
barangkali telah membuyarkan jadwal pertemuan
dan menepikan sepeda motor.
Di sanalah kita pernah saling tebak
: ke arah mana seharusnya kita tentukan
tempat paling tepat untuk menukar
derita dan pelukan.
Rindu berkecipak di antara deras hujan
dan genangan air memantulkan wajah kita
yang masih muda dan labil.
Senyumanmu, tawamu, menyisakan
begitu deras kenangan
bagai Kota Soe yang hujan saat itu.
O, masih hangat kala kukenang.
Rambutmu yang wangi dan legam
jari-jari seumpama tunas jambu
bulu mata yang senantiasa mengisahkan puisi dan doa
senyum sebagaimana arak dan potongan-potongan daging
serta suara–
yang menjelma rindu perahu pada dermaga.
Musim hujan telah kembali, wahai, kekasih
mengingatkanku pada kenang-kenangan dahulu
di mana engkau pernah jatuh
dan bayanganmu begitu dekap
: di dadaku.
Rumah biru, 2020.
Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Ia sama seperti banyak laki-laki yang pernah kau temui dipersimpangan jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H