Tulisan ini dipicu oleh fenomena yang muncul di media sosial beberapa hari ini. Fenomena itu berkaitan dengan beberapa komentar di FB (Group PGI) yang menghujat Mama Mery Kolimon yang ikut menolak UU Omnibus Law.
Dalam komentar-komentar tersebut, banyak orang menghujat dan meminta Mama Mery untuk netral dan tidak boleh membawa gereja dalam menolak UU Omnibus Law. Meski begitu, menurut saya, Mama Mery sudah berada pada posisi yang tepat.
Gereja memang tak boleh netral jika dalam UU Omnibus Law justru mengancam keselamatan lingkungan, mengancam ruang hidup warga/umat, dan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa hal itu perlu di sampaikan? Sebab itu merupakan tanggung jawab para rohaniawan/rohaniawati gereja untuk mewujudkan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC).
Jadi, penolakan terhadap di sahkannya UU Omnibus Law merupakan bentuk dari kepedulian tokoh agama dan sebagai warga negara kepada sesama manusia dan lingkungan hidup (ciptaan Tuhan).
Keterlibatan Mama Mery dan tokoh agama lainnya terhadap penolakan UU Omnibus Law adalah  bagian dari politik selibat. Artinya, dengan status yang demikian mendorong seorang tokoh agama dan gereja untuk menyuarakan ketidakadilan yang ada dan terjadi di dalam masyarakat.
Jadi, gereja tidak boleh menjadi penonton tetapi harus menyuarakan ketimpangan yang ada dan terjadi di dalam masyarakat. Apalagi saat hak orang kecil dipinggirkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja wajib menyuarakan hak mereka demi menggapai kebaikan bersama.
Salah satu contohnya adalah keterlibatan gereja dan beberapa tokoh agama dalam membantu masyarakat adat Besipae pada beberapa bulan lalu.
Keberadan gereja yang seperti itu, menjadi input dan pressure  dalam sebuah masyarakat. Salah satu tujuannya adalah agar kebijakan pemerintah perlu mengakomodasi kepentingan masyarakat yang terpinggirkan dalam ruang publik.  Hanya dengan tokoh agama dan gereja bersuara seperti itu, kebaikan bersama bisa terpenuhi di dalam masyarakat.
Nah, memang banyak orang yang tidak memahami akan hal-hal semacam itu. Tapi kalau kita membaca komentar-komentar yang tidak sepakat dan mempertanyakan posisi Mama Mery, kita akan dengan mudah melihat bahwa orang-orang tersebut memang sedang jatuh pada fanatisme buta. Baik fanatisme pada tokoh tertentu, golongan tertentu, dan lain sebagainya.
Akibat dari fanatisme buta semacam itulah, orang-orang tidak lagi jernih untuk melihat suatu masalah. Fanatisme buta semacam ini seringkai berakar pada dua hal: