Mohon tunggu...
Leo Naldi
Leo Naldi Mohon Tunggu... Buruh - Buruh di perusahaan swasta.

Daripada kata-kata itu hanya diam di sudut otak saya, maka lebih baik saya keluarkan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jalan Tol

30 Mei 2024   13:35 Diperbarui: 30 Mei 2024   13:36 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Apakah jalan tol itu lambang pemerataan? Jawabannya tergantung siapa yang menjawab. Bagi negara, pembangunan infrastrukur yang masif adalah cara untuk melakukan pemerataan. Bagi sebagian kecil orang yang kritis, pengembangan manusia melalui pendidikan dan kesehatan adalah bagian dari pemerataan, dan itu lebih penting ketimbang pembangunan infrastrukur yang masif dan monumental.

Di dekat rumah saya, negara sedang membangun jalan tol baru untuk menghubungkan jabodetabek dalam satu lingkaran, tol JORR 2 namanya, sesuai namanya yang berakhiran 2, tentu ada yang pertama. Jalan tol JORR 1 memang sudah sangat sumpek dengan tumpukan mobil pribadi, bus, dan truk. Mungkin, maksud dari negara membangun tol JORR 2 untuk mengurai kemacetan yang terdapat di tol JORR 1.

Saya punya cerita yang unik tentang pembangunan tol tersebut. Ruas tol yang berada dekat dengan rumah saya itu agak sedikit problematik pembangunannya, kenapa problematik? Karena pembangunan tol akan menggusur sebuah komplek pemakaman yang sangat dicintai oleh warga sekitar. Warga sekitar menolak relokasi komplek pemakaman dikarenakan di sana terdapat makam para sepuh yang sangat mereka hormati. Hasilnya, penolakan keras terjadi oleh warga terhadap pembangunan jalan tol baru itu. Alot sekali proses pembebasan lahannya, sampai-sampai pada masa penolakannya terdapat sejumlah spanduk-spanduk yang dibentangkan di jalan-jalan untuk menolak pembangunan jalan tol baru. Sampai pada akhirnya disepakati bahwa komplek pemakaman itu tidak akan digusur, komplek pemakaman akan tetap ada pada tempatnya dan tidak bergeser seinci pun, win-win solution tentunya.

Pembangunan dilanjutkan dengan membiarkan komplek pemakaman itu tetap ada di tengah-tengah jalan tol. Sungguh unik, kalau anda sempat atau suatu hari nanti akan melewati ruas tol itu ke arah Cileungsi dari arah Jakarta, anda akan melihat komplek pemakaman yang berada di tengah-tengah jalan tol. Saya tidak tahu di tempat lain apakah ada yang seperti itu atau tidak. Ini pertama kalinya saya melihat yang demikian. Agak ironis melihatnya, orang-orang yang telah mati itu berada di tengah-tengah keramaian laju kendaraan, laju modernitas. Bukankah kita semua selalu mengucapkan, ”beristirahatlah dalam damai” ketika ada seseorang yang pergi meninggalkan dunia ini? Hal itu nampak tidak berlaku untuk orang-orang yang telah mati di komplek pemakaman itu, orang-orang yang telah mati itu harus terhimpit oleh laju modernitas demi jargon pemerataan pembangunan.

Mengulang pertanyaan di kalimat pertama, paragraf pertama. Apakah benar bahwa pembangunan jalan tol atau pembangunan-pembangunan monumental lainnya sebagai lambang pemerataan? Atau malah sebuah lambang kemelaratan? Memang, pembangunan jalan tol dapat melancarkan alur distribusi barang, para produsen barang akan lebih cepat dalam mendistribusikan barangnya untuk konsumen, perputaran ekonomi negara akan berlangsung lancar dan menguntungkan. Tapi, apakah dengan begitu pemerataan akan terjadi? Saya rasa tidak. Siapa yang diuntungkan dari mudahnya distribusi barang tersebut? Tentu pengusaha dengan modal yang berlimpah. Semakin mudahnya alur distribusi barang, semakinya cepatnya distribusi barang, pengusahan akan semakin diuntungkan. Bagaimana dengan nasib buruhnya? Apakah dengan diuntungkannya perusahaan dengan hadirnya tol baru akan berdampak positif juga terhadap kehidupan buruhnya? Atau orang-orang yang terbuang karena tanahnya tergusur oleh pembangunan jalan tol tersebut? Pertanyaan yang mungkin jawabannya sudah kita ketahui semua.

Jalan tol, bagi mereka yang terbuang lantaran kena gusur adalah simbol keserakahan negara terhadap ruang hidup rakyatnya. Uang ganti yang selalu dimaknai ganti rugi, bukan ganti untung tidak memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Manusia-manusia yang terbuang menerima dengan pasrah tanahnya dirampas negara, demi kemajuan bangsa dan negara tanpa bisa melawan, melawan kekuatan modal. Jalan tol, bagi mereka yang berduit dan berkantong tebal adalah simbol kenyamanan, simbol pemerataan. Puji-pujian terhadap negara kerap dilontarkan dari mulut-mulut mereka, betapa mudah dan cepatnya hidup mereka sekarang dalam mengarungi lautan mobil di Jakarta, bayar mahal sedikit tidak masalah, karena buat manusia Jakarta cepat adalah segalanya, cepat adalah kemewahan, cepat adalah keuntungan. Makin cepat mereka melakukan mobilisasi, makin banyak materi yang mereka dapatkan. Tidak salah memang, tapi seperti yang Orwell bilang dalam novelnya yang berjudul The Road to Wigan Pier, “I felt that I had got to escape not merely from imperialism but from every form of man’s dominion over man. I wanted to submerge myself, to get right down among the oppressed, to be one of them and on their side against their tyrants.” Orwell seperti memberi pesan bahwa hidup adalah pilihan, pilihlah di mana anda akan berpihak. Berpihak pada mereka yang kalah, atau berpihak pada mereka yang menang.

Selayaknya semua warga negara, saya mendukung program pemerataan, saya tidak anti terhadap pembangunan dan pemerataan, saya ingin negara melakukan pemerataan yang berkeadilan bagi seluruh rakyatnya, tanpa satu rakyat pun yang tertinggal. Apakah sudah begitu layak infrastriktur pendidikan dan kesehatan kita sampai-sampai negara melupakan itu dan lebih memilih membangun proyek-proyek infrastruktur yang megah dan monumental? Apakah pengembangan manusia tidak menjadi prioritas negara? Saya rasa, negara yang adil dan makmur adalah negara yang mementingkan perkembangan manusianya, semua manusianya, semua rakyatnya, bukan hanya mementingkan segelintir orang saja. Bukankah sila kelima masih berbunyi, ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? Belum berubah, kan, isinya? Apakah nasib orang-orang kalah tidak akan pernah berubah sampai mereka pergi dari dunia ini? Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, Orwell mengajak kita supaya memilih pihak mana yang akan kita pilih, memihak pada pemenang dalam hidup ini, atau memihak pada manusia-manusia yang kalah, yang terpojok di sudut kehidupan tanpa bisa berbuat apa-apa. Saya, mungkin, untuk saat ini akan berada dipihak yang Orwell pilih. Mudah-mudahan saya akan selalu seperti itu sebagai manusia. Masih yakinkah kalian pada jargon, “Indonesia emas 2045”? Silakan direnungkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun