Banyak orang berharap menemukan harta karun, seperti tambang emas, perak, minyak bumi, yang tersembunyi di perut bumi ini. Mereka berbondong-bondong mengeruk tanah, menyelami lautan hanya untuk menemukan harta karun tersebut. Namun, sadarkah anda bahwa di dalam tubuh pun anda memiliki peti harta karun yang tak ternilai harganya? Yang tanpa harus kesulitan anda dapat mengeruk maupun menyelamnya? ‘ah..masak sih?’ Tidak percaya? Simak ini.
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kesempurnaan melebihi makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Salah satu kesempurnaan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia adalah dengan adanya memori. Solso (2008) mengatakan bahwa memori merupakan elemen pokok dalam sebagian besar proses kognitif manusia. J.M. Barrie (dalam Solso, 2008) menyatakan bahwa “Tuhan memberikan kita memori sehingga dalam bulan Desember sekalipun (saat musim dingin) kita bisa tetap ceria”. Tak mau kalah, St. Basile (dalam Solso, 2008) menyebutkan memori sebagai “lemari kaca tempat khayalan disimpan, peti harta tempat logika dijaga, pintu depan tempat kesadaran masuk, dan sekaligus sebuah dewan penasihat bagi pikiran-pikiran kita”. Sehingga dapat dikatakan bahwa memori merupakan harta karun terbesar yang dimiliki oleh manusia. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita hidup tanpa adanya peranan memori?
Meskipun memori sempat diabaikan pada masa kejayaan behaviorisme, namun rasa penasaran akan cara manusia menyimpan apa yang telah dipelajarinya dan bagaimana manusia memanggil kembali pengetahuan tersebut menjadi titik balik munculnya minat para ilmuwan untuk mempelajari dan meneliti tentang memori. Para psikolog eksperimental mengembangkan model-model rumit tentang representasi mental—mengenai bagaimana informasi disimpan dan diambil kembali.
Salah satu model memori yang paling bertahan lama adalah model yang dibuat oleh William James, yakni model memori ganda (dualistic model of memory). James menyatakan bahwa memori bersifat dikotomi,yaitu manusia mengamati sejumlah objek, informasi memasuki memori dan kemudian hilang, sedangkan beberapa informasi menetap di memori selamanya. Dari pernyataan itulah muncul konsep memori jangka pendek dan memori jangka panjang—yang oleh James disebut memori primer/primary memory (langsung/immediate) dan memori sekunder/secondary memory (tidak langsung/indirect). James berpendapat bahwa memori primer tidak pernah meninggalkan kesadaran dan senantiasa menyediakan “tayangan” peristiwa-peristiwa yang telah dialami. Sedangkan, memori sekunder didefinisikan sebagai jalur-jalur yang “terpahat” dalam jaringan otak manusia, dan setiap manusia memiliki struktur jalur yang berbeda. Meskipun demikian, pada masa James belum terdapat cukup bukti ilmiah yang mendukung perbedaan definisi operasional antara kedua system memori tersebut.
Bukti-bukti ilmiah tersebut baru muncul 75 tahun kemudian oleh Waugh dan Norman (1965). Menurut Waugh dan Norman (dalam Solso, 2008), sebuah item memasuki memori primer dan kemudian disimpan disana (melalui latihan pengulangan), atau dilupakan. Dengan menggunakan pengulangan (rehearsal), item tersebut memasuki memori sekunder dan selanjutnya menjadi bagian memori permanen.
Memori jangka pendek (short-term memory) merupakan kemampuan manusia untuk menanggapi peristiwa-peristiwa sensorik yang paling kecil sekalipun—yang membentuk “masa kini” dalam kontinum waktu. Memori jangka pendek memiliki kapasitas yang jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan memori jangka panjang, akan tetapi, memori jangka pendek memiliki peranan penting dalam pemrosesan memori. Suatu karakteristik lain pada memori jangka pendek adalah kapasitas penyimpanannya yang terbatas diimbangi dengan kapasitas pemrosesan yang terbatas, dan terdapat pula pertukaran (trade-off) yang konstan antara kapasitas penyimpanan dan kemampuan pemrosesan. Berdasarkan penelitian, kapasitas memori jangka pendek terbatas pada tujuh unit atau item, namun kepadatan (density) atau jumlah informasi per item dapat ditingkatkan dengan chunking (seperti menggabungkan sejumlah huruf menjadi kata-kata yang bermakna). Prosedur chunking ini memerlukan adanya pengaksesan informasi dari memori jangka panjang. Informasi yang tersimpan dalam memori ini dapat berupa informasi auditorik, visual, atau semantik (berkaitan dengan pemaknaan terhadap objek), tergantung dengan jenis informasiatau jenis tugas yang dialami seseorang.
Memori jangka panjang (long-term memory) merupakan kemampuan manusia untuk memahami masa lalu dan menggunakan informasi tersebut untuk mengolah “masa kini”. Memori jangka panjang memampukan manusia tinggal di dua dunia secara bersamaan (yakni pada masa lalu dan masa kini), dan, melalui proses tersebut, kita dapat memahami aliran pengalaman saat ini yang datang terus menerus. Memori jangka panjang harus “ditarik” ke dalam memori jangka pendek agar dapat digabungkan dengan informasi dalam memori jangka pendek dan digunakan untuk memahami aliran informasi yang kita terima saat ini. Karakteristik utama dari memori ini adalah keanekaragamannya—penyandian, abstraksi informasi, struktur, kapasitas, dan permanensinya. Kapasitas memori jangka panjang tidak terbatas dan durasinya tanpa akhir. Dalam memori jangka panjang, informasi disandikan secara akustik, visual, dan semantik. Sandi ini dapat diilustrasikan dengan kondisi tip of the tongue (TOT; di ujung lidah), yakni kondisi saat anda dapat mengingat sejumlah aspek dari item tertentu, namun melupakan identitas utama (seperti nama) item yang bersangkutan.
Sejumlah besar peneliti memusatkan upayanya untuk mengungkap proses-proses psikologis yang melibatkan memori dan bagaimana memori dapat dipengaruhi oleh proses pengambilan memori (retrieval) itu sendiri. Penelitian rekonstruksi memori yang paling termasyhur dilakukan oleh Sir Frederic Bartlett dari Universitas Cambridge. Bartlett (dalam Solso, 2008) menjabarkan sejumlah eksperimen dalam bukunya Remembering: A Study in Experimental and Sosial Psychology (1932) dengan menggunakan cerita-cerita singkat, prosa, gambar, dan sketsa-sketsa yang dibuat kaum Indian untuk menguji proses mengingat (dan proses melupakan) materi-materi yang bermakna. Dan berdasarkan asumsi-asumsi yang telah didapatkan, Bartlett (dalam Solso, 2008), mampu menganalisis bagaimana memori direkonstruksi, antara lain sebagai berikut:
1.Penghilangan (omission) informasi. Sejumlah informasi yang spesifik akan lenyap. Selain itu, informasi yang tidak logis atau tidak sesuai dengan ekspektasi partisipan cenderung sulit diingat oleh partisipan yang bersangkutan.
2.Rasionalisasi. Sejumlah informasi ditambahkan sedemikian rupa oleh partisipan dalam upaya memperjelas bagian-bagian memori yang tidak kongruen atau tidak logis.
3.Tema yang dominan. Sejumlah tema tampaknya diingat dengan kuat, dan detail-detail disesuaikan dengan tema yang dominan.
4.Transformasi informasi. Kata-kata yang tidak familiar diubah ke kata-kata yang lebih familiar.
5.Transformasi urutan (sequence) cerita. Sejumlah peristiwa “diputarbalikan”, terjadi lebih awal dari yang seharusnya, atau lebih lambat.
6.Sikap (attitude). Sikap partisipan terhadap materi itu sendiri akan menentukan tingkat rekoleksi memori.
Bartlett menggunakan skema untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya. Dalam pandangan Bartlett, skema mengacu pada pengorganisasian secara aktif terhadap reaksi-reaksi lampau atau pengalaman-pengalaman lampau. Stimuli yang diindera seluruhnya memberikan kontribusi terhadap pembentukan suatu skema yang terorganisasikan dengan baik.
Sekian dari saya, semoga bermanfaat…
Sumber Referensi:
Solso, R.L., Maclin, O.H., & Maclin, M.K. 2008. Psikologi Kognitif (dialihbahasakan oleh Mikael Rahardanto & Kristianto Batuadji). Jakarta: Penerbit Erlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H