Mohon tunggu...
Haniam Maria
Haniam Maria Mohon Tunggu... -

If it's hard, you don't have to be alone. Come, I'm ready to listen 😇 Seseorang yang selalu tersenyum dan tertawa selagi mencari jati diri. I'm S.Psi 😁

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Pohon Sonokeling

6 Desember 2014   05:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:56 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awan mendung menutup langit sore ini. Masih sedikit gerimis ketika kulangkahkan kaki menjauhi mobil menuju tempat itu. Tak ada yang berubah dengan jalanan ini, jalan setapak yang biasa kulalui dulu semasa kecil. Pohon-pohon besar yang berjajar rapi di kanan kiri seolah-olah mencoba melindungi jalan beton, mereka tetap sama, yang berbeda hanya mereka tumbuh semakin besar, kuat dan rindang membentuk langit-langit. Dedaunan kuning yang jatuh terkena hujan, menutupi sebagian besar jalanan yang kulalui.

Ku rapatkan jaketku ketika kurasakan dingin menusuk kulit. Jalanan sepi sehingga dapat kudengar jelas suara serangga yang mulai bernyanyi mengiringi langkahku. Suasana desa memang selalu berbeda, batinku. Ya, aku saat ini tengah menyusuri jalan desa yang memberiku banyak kenangan 15 tahun silam.

“Permisi.” Sapaku pada seorang ibu setengah baya yang wajahnya masih terkenal jelas dalam ingatanku seraya melangkah memasuki pekarangan rumahnya.

Wanita itu menghentikan aktivitasnya, menyapu pekarangan rumah. Memandangku dari atas hingga bawah. Dahinya membentuk kerutan jelas menandakan kerasnya ia berpikir untuk mengingat wajahku yang tidak terlihat asing dimatanya. Beberapa menit berlalu, ku biarkan ia mengingatku. Tak lama kemudian, kulihat kerutan di dahinya menghilang dan berganti dengan bola matanya yang membulat. Kurasa ia mengingatku.

“Ya Allah, Gusti, nduk Rinda tho ini? Sama siapa kesini? Ayo, masuk!” seru wanita itu. Nadanya terdengar antara tidak percaya dan bahagia.

Aku hanya menyunggingkan senyumku dan mengikutinya masuk ke dalam rumah. Mak Tin namanya. Beliau adalah orang yang selalu membantu ibuku di rumah sewaktu aku masih tinggal di sini dulu. Sosok yang baik dan murah senyum, dapat kukatakan bahwa beliau adalah ibu kedua bagiku.

“Ya Allah, Mak Tin pangkling sama kamu, nduk. Sudah lama sekali Mak nggak lihat kamu, berapa tahun ya? 15 tahun kan ya sejak kamu pindah ke kota? Kamu sudah besar dan tambah cantik. Gimana Mbak Yuni sama Mas Dimas? Sehat? Kamu sekarang kerja dimana?” tanya Mak Tin dengan nada antusias seraya meletakkan secangkir teh hangat di atas meja kayu.

“Alhamdulillah ayah dan Ibu sehat, Mak. Sekarang ayah ditugaskan di Jakarta dan ibu ikut ke sana. Kalo Rinda sekarang ngikut profesi ayah Mak, jadi dokter tapi di Jogja.” Jawabku.

“Hmm...nggak dipaksa kan nduk?” tanya Mak Tin hati-hati.

“Hahaha...ya nggak lah, Mak. Rinda kan dari dulu emang cita-cita pengen jadi dokter kayak ayah. Kalo Mak Tin sendiri gimana? Rumah kok kayaknya sepi. Santi sama Rudi dimana sekarang Mak?” tanyaku balik.

Kulihat Mak Tin memandang lepas jauh ke depan. “Ya gini lah nduk kalau tinggal di desa. Anak-anak yang sudah mulai besar pergi ke kota cari uang. Mereka semakin besar semakin pintar, nduk.” Jawabnya, ia terkekeh pelan.

Kami terdiam lama. Ku seruput teh hangat yang disuguhkan Mak Tin padaku. Kurasakan perasaan hangat mengalir dan menyapu perasaan dingin di dalam tubuhku.

Di luar rumah suasana mulai gelap. Kulihat lampu-lampu rumah di sekitar rumah Mak Tin menyala satu persatu. Suasana yang membawaku kembali ke masa lalu. Aku masih ingat dulu ketika malam menjelang, aku selalu antusias untuk menyalakan lampu minyak depan rumah. Baru kusadari sekarang, aku merindukan desa ini.

“Kamu nggak sibuk tho, nduk? Kok tumben berkunjung kesini. Ada apa?” tanya Mak Tin menghilangkan suasana sepi yang lama terbentuk.

Aku hanya terdiam dan mengalihkan pandanganku ke luar rumah seperti yang dilakukan Mak Tin tadi.

***

Aku mempercepat langkahku pagi ini menuju ke atas bukit. Kusapa setiap orang yang kutemui dan, anehnya, mereka langsung mengenaliku. Aku tidak tahu bagaimana cara Mak Tin menyebarkan berita kedatanganku semalam pada penduduk desa sehingga pagi ini mereka dapat mengenaliku.

Kabut tipis yang menemani perjalananku perlahan menghilang sehingga dapat kulihat pemandangan desa ini dengan jelas. Jelaslah sudah. Desa ini benar-benar tidak terjamah. Letak sawah, sungai, rumah, dan pepohonan tak banyak berubah, tak ada bangunan besar juga di desa ini. Ini memudahkan perjalananku menuju bukit karena aku masih ingat jelas jalanan desa.

Aku menghentikan langkahku dan tersenyum lega melihat sebuah siluet besar di depanku. Sebuah pohon Sonokeling yang selalu berdiri kokoh di atas bukit ini. Pohon yang menjadi saksi kenangan masa laluku. Senyumku semakin lebar melihat bangku panjang usang yang masih tertanam di bawah pohon itu. Kulangkahkan kembali kakiku untuk mendekat. Mendudukkan diri pada bangku yang masih basah terkena hujan kemarin. Aku menarik nafas dalam, memenuhi paru-paruku dengan udara sebanyak-banyaknya. Menikmati pemandangan seluruh desa dari bukit ini membuatku melupakan segalanya.

Aku tercekat, teringat dengan maksud kedatanganku ke atas bukit ini. Segera kulangkahkan kaki menuju pohon Sonokeling di belakangku. Aku merundukkan badan, mengedarkan pandangan mencari sebuah tanda di antara rerumputan liar di bawah pohon. Batu besar itu masih tergeletak disana, diatas harta karun yang ku sembunyikan dengannya.

------

“Rinda! Ayo, cepat!” teriak seorang anak laki-laki pada Rinda kecil yang tengah berjongkok di pinggir jalan setapak.

“Sebentar, Dy.” Jawab Rinda. Ia mengambil beberapa bunga liar yang tumbuh di sana dan bergegas mengejar anak laki-laki bernama Aldy yang telah berjalan jauh didepan.

“Apa yang kamu ambil? Lama sekali!” gerutu Aldy setelah Rinda ada di sampingnya.

“Ta-da~!” seru Rinda seraya membentangkan tangannya di depan Aldy. Rinda memakai bunga liar yang ia ambil di kepalanya dan memamerkannya pada Aldy.

Aldy terkekeh melihat penampilan Rinda, melupakan kekesalannya barusan. Mereka berjalan beriringan menuju ke atas bukit, tempat yang selalu mereka datangi berdua. Sesekali bercanda satu sama lain. Rinda dan Aldy bersahabat semenjak Rinda pindah ke desa tersebut setahun yang lalu. Rinda, anak seorang dokter yang ditugaskan untuk menjadi dokter relawan di desa Aldy. Sedangkan Aldy adalah anak kepala desa tersebut. Mereka seperti amplop dan perangko, selalu bersama dan tak terpisahkan.

“Sampai~!” seru Rinda. Ia berlari terlebih dahulu menuju bangku panjang di bawah pohon Sonokeling dan menidurkan dirinya di sana.

Aldy terkekeh. Ia berjalan mendekat dan meminta Rinda untuk bergeser. Rinda tak bergeming, ia berpura-pura tertidur. Aldy tak semudah itu dibohongi. Ia berpura-pura berpikir sejurus kemudian mengelitik tubuh Rinda membuat gadis kecil itu terduduk seraya tertawa geli.

Aldy membuka tas yang dibawanya dan mengambil sesuatu dari dalamnya, sebuah kaleng biskuit kecil bekas dan dua buah kertas. “Lihat ini.” Ucapannya.

“Untuk apa?” tanya Rinda seraya memegang benda tersebut. Dahinya mengkerut heran.

“Kita tulis keinginan kita di kertas lalu kita sembunyikan di bawah pohon itu. Setelah dewasa nanti, kita datang kesini dan lihat apa keinginan kita tercapai.” Ujar Aldy yang disambut anggukan Rinda.

Mereka menulis keinginan masing-masing, lalu memasukkannya ke dalam kaleng dan menguburkan kaleng tersebut ke dalam tanah di bawah pohon Sonokeling. Tak lupa, sebagai tanda, mereka menaruh batu besar di atas tanah tersebut.

“Selesai~!” seru mereka dan kemudian tertawa bersama.

Satu tahun kemudian, ayah Rinda kembali dipindahkan tugas membuat dua sahabat tersebut harus berpisah. Namun, mereka terus berkirim surat satu sama lain.

------

Aku berjongkok dan mencabut rerumputan yang menghalangi tanah tempat terkuburnya kenangan kami. Sebuah ranting tak terlalu besar kujadikan alat untuk menggali tanah tersebut. Tak lama kemudian, ranting tersebut menyentuh sebuah benda keras di dalam tanah. Aku tersenyum lega menyadari bahwa kaleng itu masih ada di sana. Buru-buru kuambil kaleng tersebut menggunakan kedua tanganku.

Aku kembali duduk di atas bangku dan sebuah kaleng penuh tanah basah terduduk manis dipangkuanku. Perlahan kubuka kaleng tersebut dan menemukan dua buah kertas usang di dalamnya. Aku mengambil salah satu kertas. Aku kenal baik tulisan ini, tulisanku. Ku tulis di sana, “aku ingin menjadi dokter seperti ayah - Rinda”. Aku tersenyum dibuatnya karena apa yang kuinginkan menjadi kenyataan sekarang. Kulirik kertas lain yang masih berada di dalam kaleng, kertas milik Aldy. Kuambil kertas Aldy dan perlahan kubuka. Aku terdiam membaca kertas tersebut. Di atas kertas itu Aldy menulis, “selalu bersama gadisku, Rinda – Aldy”. Aku tertawa geli namun perlahan mataku memanas, tak lama, butiran kecil terjatuh dari pelupuk mataku mengenai kertas usang tersebut.

Ddrrrttttt~ drrrrtttt~

Handphone-ku bergetar tanda panggilan masuk. Aku merogoh saku jaketku dan kulihat dari rumah sakit menelepon. Aku tahu tanda ini, buru-buru kuangkat.

“Halo? Ada apa sus?” tanyaku khawatir.

“Dokter, pasien koma anda, mas Aldy, tiba-tiba kritis dok.” Jawab suara wanita di seberang telepon. Terdengar suara gaduh di sana.

Aku terkesiap, dengan suara bergetar aku berkata, “aku masih di luar, satu jam lagi aku sampai di sana. Bilang pada dokter Wanda untuk menanganinya dulu.”.

Kuputuskan sambungan, memasukkan kedua kertas tersebut kembali ke dalam kaleng dan segera berlari menuruni bukit. Aldy, kumohon tetap bersamaku, ucapku dalam hati yang bergetar. Aldy, yang kini menjadi orang terpenting dalam hidupku, mengalami koma sejak 6 bulan yang lalu setelah menjalani operasi pembengkakan pada otak. Air mataku terus mengalir bersama dengan do’a yang terus kupanjatkan untuknya.

-----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun