Malam saat jiwa suci diturunkan, aku kembali merona. Satu tangan mengulur, merekatkan sisa sayap yang pernah hilang.
Aku mabuk dalam euforia. Dengan bangga mengepak, menapak hamparan langit yang kupikir tak akan pernah tercapai.
Aku kembali menginjak bumi, memanggil dirimu dan berceloteh bangga tentang dunia yang kudambakan.
Aku kira, aku telah memecah dinding. Menarik dirimu dalam satu dimensi, bersitatap untuk membagi sebongkah tawa.
Namun, aku keliru. Kau telah membenci alunan omong kosongku. Kau muak dengan gelagar bahak pemuja kemunafikan sepertiku.
Lalu, pada penghujung malam aku berbagi sajak, aku sadar tak ada retakan yang kuagung-agungkan pada dinding pemisah kita. Aku buta dalam keegoisan.
Kau kutip puisi-puisi kesukaanmu, berteriak pada ketidakadilan yang kau sumpah serapahi.
Namun, aku bodoh. Hanyut pada ragam semu yang ingin segera kutenggelamkan saat ini.
Aku berlari ke tempat dinding kita dibangun, tetapi ia semakin tinggi. Lapisan baja panas mengitari, merontokkan daging hingga tersisa tulang-belulang.
Aku menjerit, menyuarakan kata yang menyesakkan tenggorok. Namun, semua terhenti karena lisanku telah membeku. Aku mati sebelum galian kubur memanggilku.
Aku menyesal. Langit-langit kamarku menjadi kosong, meski ia berwarna. Sebelah sayapku telah gugur. Aku kembali patah.
Jika pengandaian adalah hal terakhir yang bisa kulakukan, aku akan memilih mematahkan sisa sayapku. Lalu, menjadi pesakitan agar senandungku kembali kau dengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H