Pernahkah kalian memperhatikan jungkat-jungkit di taman? Permainan anak-anak yang dimainkan dua orang, duduk dalam posisi seimbang, lalu bergantian naik dan turun.Â
Sadar atau tidak, kehidupan manusia itu seperti jungkat-jungkit. Adakalanya kita berada di atas karena dibantu oleh kawan kita. Namun, dapat berbalik ketika kawan kita juga ingin berada di atas. Keseimbangan hanya terjadi saat kita memulai dan mengakhiri---kondisi kedua belah pihak menghilangkan gaya.
Dalam dunia tulis-menulis, hal tersebut pun terjadi. Adakalanya kita terbang oleh sanjungan atau jatuh karena kritikan.Â
Douglas Stone dan Sheila Heen dalam buku mereka Thanks for the Feedback mengatakan, "Ketika kami memberi masukan, kita menyadari si penerima tidak pandai menerimanya. Ketika kami menerima masukan, kami menyadari si pemberi masukan tidak pandai memberikannya."
Kemudian menurut Sigmund Freud, pada kondisi yang tidak menyenangkan secara refleks otak kita menstimulus aksi defensif. Salah satu faktor terbesar penyebab perilaku tersebut adalah kritik.
Dari kedua pernyataan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam dunia "kritik-mengkritik" ada sisi ego yang bermain dalam mempertahankan hal yang kita yakini.
Ada beberapa mekanisme defensif yang biasa dilakukan oleh manusia; aggression (perlawanan), rationalization (mencari alasan rasional), projection (menyalahkan orang lain), dan Splitting (kesal pada orang lain).
Meskipun begitu, bukan berarti manusia tidak bisa menerima kritik. Hal-hal yang saya ungkapkan sebelumnya adalah naluri alami manusia, tetapi ketika akal yang bermain maka pola defensif bisa dihindari.
Lalu, apa sebenarnya kritik itu?Â
Secara sederhana, kita dapat mengatakan kritik adalah bentuk kupasan terhadap suatu karya. Kita menggunakan kritik sebagai bahan pertimbangan menilai karya.
Namun, tidak berarti kita menyampaikan kritik asal-asalan. Ada hal-hal yang harus kita perhatikan agar kritik kita bisa diterima. Apa saja ciri-ciri kritik yang baik dan bagaimana cara menyampaikannya?Â