Layangan memori mengudara pada masa benih menuai semai. Â Senandung penghuni alam menyegarkan pengembara kirana. Dua pasang netra menarik lini, menaut janji untuk sehidup semati.
Lalu sejuk berganti gersang. Surya menyengat jangat, ego membakar logika. Dua rasa bertarung angkuh diri, membentang jarak pada titik tak bertepi.
Gulir waktu mengubah rimbun hijau pada layu cokelat. Â Anginnya mengembuskan kecewa, menggugurkan harap dalam terungku bisu. Dua insan merasa berantakan, mematung di antara daun rapuh berserakan.
Alunan elegi membuat nyeri ulu hati. Siang membusukkan jiwa, malam mendinginkan raga. Dua pasang tungkai berbalik arah, menyerah pada luka tak berdarah.
Lantas salju menimbun asa, membekukan para pemimpi di dalam lakuna. Akhirnya, hibernasi menghasilkan konklusi. Dua hati memilih asa pasti, berhenti menanti waktu kembali.Â
Kini dua ragu telah berlalu. Masing-masing bersandar pada bahu yang baru.Â
Renjana itu melambung tinggi. Pada musim yang berganti, semoga perih tak akan berulang lagi.
Yogyakarta, 22 Desember 2018
oleh: Nur Halipah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H