Mohon tunggu...
holijah paliza
holijah paliza Mohon Tunggu... Relawan - ktp
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

julpadli rambe

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Indonesia di Bawah Cengkraman Oligarki dan Politik Dinasti

11 Desember 2020   18:29 Diperbarui: 11 Desember 2020   18:38 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Editor : Julpadli Rambe

Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Aspek "dari" dan "oleh" sering dimaknai sebagai aspek presedural dari demokrasi. Bahwa seorang pemimpin yg demokratis mesti dipilih dari dan oleh rakyat. 

Sebuah pemelihan yg sungguh sungguh berasal dari rakyat yg bebas dari segala tekanan dan intimidasi. Jelas bahwa seturut jargon demokrasi, rakyatlah yg berdaulat dalam sebuah negara demokratis. 

Rakyat memiliki kuasa penuh atas politik tanpa tekanan dan intimidasi. Salah satu perealisasian kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi adalah dengan memilih para pemimpin dalam perhelatan pemilu. 

Sudah menjadi cerita umum bahwa pemilu Indonesia tergolong sangat mahal. Demokrasi elektrolar sukar mendekati defenisi demokrasi ideal, yaitu pemerintah oleh yg diperintah, karena demos dikendalikan oleh kelompok atau kalangan tertentu atau apa yg sejak Aristoteles disebut sebagai oligarki.

Secara umum, Oligarki yg berasal dari bahasa Yunani Oligarkhia dimaknai sebagai bentuk pemerintahan atau kekuasaaan yg dijalankan oleh sekelompok kecil elit. 

Jeffrey A Winter dalam bukunya berjudul Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi yaitu pertama Oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yg tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul simpul kekuasaan. Kedua, Oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yg menggurita secara sistemik.

Ada beberapa ciri ciri negara yg menganut atau menggunakan sistem pemerintahan oligarki yakni, kekuasaan dipegang atau dikendalikan oleh kelompok masyarakat kecil, terjadi ketidaksetaraan ataupun kesenjangan dari segi material yg cukup ekstrem, uang dan kekuasaan merupakan hal yg tidak terpisahkan, kekuasaan dimiliki hanya untuk mempertahankan kekayaan. 

Tren oligarki partai politik di Indonesia saat ini tengah menguat dalam mengendalikan pemerintahan. Baik dikalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Padahal dalam ajaran trias politica ketiganya memiliki fungsi kontrol dalam menjaga keseimbangan namun serta secara emperistik bisa terjadi ketidakseimbangan kekuasaan. 

Beroperasinya oligarki politik lebih memikirkan kepentingan bisnis semata dan demi melindungi modal serta kepentingan global. Alih alih menegakkan jiwa nasionalisme bahkan jika ada kesempatan kedaulatan negara pun akan dijualnya.

Karena itu, pada masa pandemi covid 19 yg berdampak pada ekonomi global justru memberi peluang agar pemerintah membuat kebijakan ekonomi dan politik yg beriorentasi kepada kemampuan bangsanya sendiri.

Indonesia pasca tumbangnya orde baru, oligarki bukan tidak pernah kembali tapi tidak pernah pergi dan belum berhasil dijinakkan sampai sekarang dan mungkin tahun tahun berikutnya. Menurut A. Rahman Tolleng, kaum oligarki di Indonesia terjun langsung dalam dunia politik. 

Mereka mendirikan dan memimpin parpol dan bila menang dalam pemilu bisa menjadi presiden, menjadi menteri, gubernur, walikota/bupati dan posisi penting lainnya. Akibatnya pemilu menjadi sumber korupsi. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan diantara politisi, penguasa dan pengusaha.

Munculnya Dinasti politik dapat dianalisis dari dua hal, pertama, macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring calon kepala daerah yg berkualitas sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. 

Kedua, konteks masyarakat yg menjaga adanya kondisi status quo didaerahnya yg menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang orang dekat kepala daerah menggantikan petahana. 

Gejala umum munculnya dinasti politik ini menimbulkan adanya sikap pro dan kontra dalam pemehaman dikalangan masyarakat itu sendiri. Disatu sisi, ini merupakan hak asasi manusia untuk menjadi kepala daerah dan tidak perlu dilarang. Sementara dilain sisi juga menginginkan pembatasan dinasti politik dengan cara membatasi sanak saudara kepala daerah untuk maju pemilu.

Menguaknya dinasti politik mengingatkan kita terhadap teori politik Nicollo Machivelli dalam satu magnumopusnya II principle( sang pangeran ) yg berujar bahwa demi kekuasaan segala carapun harus digapai untuk mempertahankan kekuasaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun