Situasi yang dihadapi oleh guru agama, terutama yang berstatus honorer, mencerminkan ketidakadilan dan kurangnya perhatian serius terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia. Guru agama memiliki peran fundamental dalam membentuk karakter peserta didik, namun mereka masih berada dalam posisi yang terpinggirkan dengan keterbatasan jumlah, status kepegawaian yang tidak jelas, dan rendahnya kesejahteraan.
      Salah satu akar masalahnya adalah tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang menyebabkan pemerintah daerah ragu untuk memberikan formasi atau pengangkatan guru agama sebagai ASN.Â
Hal ini berdampak langsung pada minimnya formasi yang tersedia dalam seleksi ASN PPPK, yang seharusnya menjadi jalan untuk mengatasi masalah kekurangan guru agama di berbagai daerah. Kondisi ini ironis, mengingat kebutuhan guru agama yang sangat mendesak, terutama di daerah dengan populasi siswa yang besar dan beragam agama.
      Kasus di Kota Malang dan Sumatera Selatan menyoroti masalah lebih dalam, di mana guru agama terpaksa mengajar dengan beban kerja yang melebihi batas ketentuan hingga mencapai 40 jam per minggu. Ini jelas melanggar aturan dan membebani guru, namun hal ini dilakukan karena tidak ada alternatif lain untuk menutupi kekurangan tenaga pengajar.Â
Bahkan, dalam kasus siswa non-Muslim di beberapa sekolah, mereka tidak mendapat pelajaran agama sesuai keyakinan mereka karena tidak adanya guru agama yang tersedia. Ini bukan hanya melanggar hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai agama mereka, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem pendidikan tidak mampu mengakomodasi keberagaman keyakinan.
      Secara keseluruhan, kebijakan pendidikan agama di Indonesia masih jauh dari memadai. Pemerintah perlu segera menyelesaikan permasalahan kewenangan antara dua kementerian dan memberikan komitmen yang lebih kuat dalam pengangkatan guru agama, terutama di daerah-daerah yang masih kekurangan tenaga pengajar. Tanpa langkah nyata, ketidakadilan ini tidak hanya akan berdampak buruk pada kesejahteraan guru, tetapi juga pada kualitas pendidikan agama yang diterima oleh siswa di seluruh Indonesia.
      Menggaris bawahi sejumlah permasalahan serius dalam pengelolaan dan kesejahteraan guru agama di sekolah umum, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Sebagian besar dari mereka, sekitar 70%, berstatus honorer dengan gaji yang jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Situasi ini mencerminkan ketidakadilan yang signifikan dalam dunia pendidikan, terutama ketika guru-guru honorer ini mengemban tanggung jawab yang sangat penting dalam pembentukan karakter peserta didik.
      Dualisme pengaturan antara Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Pemerintah Daerah (pemda) memperburuk situasi. Ketidakjelasan kewenangan terkait pengangkatan guru agama, serta minimnya kuota sertifikasi dari Kemenag, menyebabkan banyak guru agama merasa terpinggirkan. Sementara itu, mata pelajaran lain sering kali mendapatkan lebih banyak anggaran dan kuota, yang menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan kesempatan bagi guru agama.
      Pandangan Mahnan Marbawi, yang mendukung agar guru agama sepenuhnya dikelola oleh Kemenag dengan dukungan anggaran yang memadai, adalah solusi logis untuk mengatasi kebingungan yang terjadi di tingkat Pemda. Jika guru agama dikelola oleh satu kementerian dengan anggaran yang terjamin, ini akan memberikan kepastian dalam hal penggajian dan pengelolaan guru agama. Langkah ini juga bisa meminimalisasi saling lempar tanggung jawab antara Kemenag, Kemendikbudristek, dan Pemda terkait pengangkatan ASN atau PPPK untuk guru agama.
      Kondisi ini juga diperparah oleh kenyataan bahwa pendidikan agama sering kali dipandang kurang prioritas, terutama karena bukan bagian dari ujian nasional. Padahal, pendidikan agama memiliki peran penting dalam membentuk siswa tidak hanya menjadi individu yang beriman dan bertakwa, tetapi juga menjadi warga negara yang baik. Ketika kekurangan guru agama terjadi, sering kali guru dari mata pelajaran lain diangkat hanya karena seiman, yang tentu saja tidak memenuhi kebutuhan pendidikan agama yang seharusnya mendalam dan terarah.
      Koordinasi yang telah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Kota Malang dengan pengangkatan guru tidak tetap (GTT) sebagai solusi sementara, menunjukkan adanya upaya untuk menutupi kekurangan tenaga pengajar. Namun, hal ini tidak bisa menjadi solusi jangka panjang, terutama karena sekolah harus menanggung gaji GTT, yang tergantung pada kemampuan keuangan sekolah. Solusi permanen harus dicari melalui dukungan lebih besar dari pemerintah pusat.