Oleh : ODORIKUS HOLANG
Suatu ketika kali pertama saya mengunjung ke rumah paman saya, saya dikejutkan oleh sebuah cerita menarik nan menantang. Sumber ceritanya berasal dari paman saya sendiri di mana di perusahannya, dia mangalami tantangan dengan menghadapi karakter pemimpinya yang dia tidak bisa hadapi sendiri dan sangat sulit menemukan solusi yang berakibat pada mengganggu rutinitas kerjanya.
Setiap hari di kantornya, dia berhadapan dengan persoalan yang sama. Rasanya bak melakukan perjalanan tanpa henti di jalan tanpa ujung. Dia amat bingung dan seolah-olah putus asa namun sebagai anak rantau yang posisinya sebagai staf karyawan maka dia harus patuh pada pimpinannya. Apa pun kata pemimpinnya, dia harus menjalankannya walaupun dalam hatinya mengalami prahara akut. Apa hendak di kata harus menerima kenyataan sebab masa depan ditentukan hari ini bukan besok atau kemarin. Hidupnya bagaikan nasib telur di ujung tanduk tak menentu di mana para pemimpin yang memegang nasibnya dalam perusahan itu.
Pada hari berikutnya, sebagai manusia yang mempunyai batas kesabaran dia mencoba melawan pimpinannya itu. Alhasilnya, kritikan yang dilontarkan terhadap yang bersangkutan ternyata diterimanya secara baik bahkan mendapat pujian. Dia pun bingung dan bertanya dalam ragu, apa sebenarnya yang diinginkan oleh pemimpinnya itu. Tingkah pemimpinnya itu seolah-olah patuh terhadapnya. Namun, melahirkan beribu pertanyaan ambigu yang disematkan kepadanya.
Ternyata setelah ditelaah secara intens dan didiskusikan secara alot tingkah pemimpinya bahwa yang bersangkutan mengalami gangguan secara psikologis akut yaitu post power syndrome di mana penyakit psikologis ini membutuhkan perhatian dan ingin dipuji oleh bawahannya. Hal ini terjadi beriring perjalanan usia dari seorang yang mengalami gangguan psikologis tersebut.
Selanjutnya, seiring dengan walk outnya partai demokrat pada pengesahan rancangan Undang-Undang Pilkada tak langsung kemarin merupakan bentuk gangguan post power syndrome. Partai demokrat sedang membangun relasi dengan opsi membutuhkan pengakuan dari partai lain dan publik pada umumnya. Menilik fakta historis bahwa partai demokrat mengalami goncangan berat secara psikologis di mana kader-kader partainya banyak yang terjerat korupsi. Aneka kasus selalu berasal dari dapur demokrat lalu dikonsumsi publik yang berakibat pada prahara negeri.
Dengan demikian, partai demokrat sekarang membuat gebrakan dengan mengahalalkan segala cara yang bernuansa politis walaupun itu mendapat cercaan dari publik namun apa hendak dikata semuanya demi menguatnya fundasi bangunan partai demokrat ke depan. Membutuhkan pengakuan memang amat sulit dan perjalanannya pasti secara evolutif serta tidak sekedar membuat sensasi untuk diapresiasi. Akan tetapi, tahap demi tahap membangun sebuah cara yang secara mekanis dapat diterima dan pantas dikonsumsi publik.
Kemudian, impak akut walk out itu adalah pengakuan terhadap partai demokrat sebagai partai demokratis hanya sekedarnya saja. Bapak Susilo Bambang Yudoyono telah gagal menyandang predikat sebagai bapak demokratis. Setelah sepuluh tahun Indonesia berjalan dalam suasana yang demokratis kini tinggal kenangan oleh karena ulah koalisi merah putih yang menghendaki Pilkada tak langsung dengan modus ingin menguasai kursi parlemen setelah gagal bertarung dalam pemilihan presiden. Begitu pula partai demokrat yang memiliki sentimen pribadi terhadap partai oposisi yaitu PDIP membuat suatu blunder masif dengan cara walk out. Tapi secara prinsip, partai demokrat ingin diakui dan dipuji walaupun ia berjalan dalam patologi demokrasi yang mana golongan tertentu ingin berkuasa namun berseberangan dengan kehendak rakyat.
Oleh karena itu, post power syndrome patut disematkan kepada kubu partai demokrat yang sebagaimana mereka menginginkan pengakuan publik atau merekonsiliasi atas situasi dan kondisi yang menjerat kader-kader partainya. Sementara itu, manuver politik demokrat yang terancam redup dengan cara ini dipulihkan secara perlahan menanti pengakuan secara utuh dari rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H