Mohon tunggu...
Handoko Jafar
Handoko Jafar Mohon Tunggu... Dosen - @pena tanpa tinta

Iqra' wa uktub

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mitos Ketidakcocokan: Muslim, Modernitas, dan Pencarian Dunia yang Seimbang

28 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 28 Mei 2024   18:07 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anggapan yang menyatakan bahwa Islam dan Muslim merupakan sumber persoalan karena ketidakmampuan mereka dalam melakukan adaptasi sosiologis dan kultural dengan realitas masyarakat Barat yang kristiani, sekuler, dan sedikit-banyak supremasis, itu perlu dibenarkan meski tidak bisa disalahkan karena masih perlu pembuktian.

Benar tidaknya ketidakmampuan umat Islam dalam beradaptasi dengan dunia luar, sebenarnya gampang diketahui dari bagaimana kecenderungan mereka dalam memposisikan diri, sebagai Muslim yang inklusif atau eksklusif. Sebab dengan memilih menjadi inklusif berarti dengan sendirinya mereka mampu menepis keraguan Barat akan ketidakmampuan mereka dalam berinteraksi dengan dunia luar. Sebaliknya, menjadi eksklusif berarti umat Islam merelakan diri untuk mendapatkan stigmatisasi sebagai Muslim yang mengisolasisasi diri dan gagal dalam berasimilasi.

Dalam eksklusivitas, Islam masih diperlakukan sebagai keyakinan dalam format lamanya meski zaman dan tempat telah berubah. Kebanyakan umat Islam kurang bisa mengerti. Mereka meyakini bahwa kandungan nilai-nilai Islam yang terangkum dalam ajaran-ajaranya musti dilindungi dengan tujuan agar tidak terkontaminasi.

Pertanyaan yang dapat dikemukakan terkait dengan sikap kehati-hatian umat Islam tersebut adalah bagaimana jika anggapan itu dibalik, bahwa Kristen dan Baratlah yang menjadi sumber persoalan karena ketidakmampuan mereka dalam melakukan adaptasi sosiologis dan kultural dengan realitas masyarakat pendatang yang islami dan cenderung inferior tapi menganggap diri rendah hati, low profile (tawadhu'). Konsekuensi logis dari pembalikan asumsi ini adalah adanya keyakinan sebaliknya bahwa Islam dan Timur itu egois, prejudis, dan takut terhadap dominasi dan hegemoni Barat dalam mengkukuhkan kekuasaan politik ekonominya melalui upaya westernisasi dengan agenda liberalisasi dan sekulerisasi yang dianggap dan bahkan diyakini berpotensi menggeser akidah Islam yang telah diyakini selama hampir 15 abad.

Kebenaran asumsi awal bahwa memang umat Islam tidak mampu beradaptasi atau mengadaptasikan Islam pada realitas sosial patut dicermati dengan cara mengenali faktor internal yang berperan dalam memuluskan kegagalan itu sendiri, yaitu ketidakberdayaan umat Islam di Barat dalam mengentaskan diri dari ketakutan terhadap interferensi negatif Barat sebagai buah dari asimilasi. Pemahaman umat Islam masih berkutat pada bagaimana menjadikan Islam sebagai filter atau perisai diri dan belum beranjak dari rigidnya pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Fakta inilah yang mengantarkan umat Islam pada kekalahan dalam persinggungan sejarah peradaban.

Sebaliknya, dibalik keberhasilannya dalam mereduksi rasa takut terhadap kemungkinan kebangkitan Islam di Barat yang dianggap berpotensi menggeser political and economic powers yang telah diraihnya selama kurang lebih 200-an tahun, sebenarnya Barat telah memproklamasikan post power syndrome-nya.

Dari paparan diatas, diketahui dengan jelas bahwa dua kutub persepsi yang berseberangan akan terus mengalami kesulitan melakukan integrasi budaya, paham dan ideologi. Menguatnya corak Islam yang ideologis dan puritan cukup mengkhawatirkan. Diperlukan upaya kejelasan identitas bahwa Islam bukan Arab agar umat Islam mampu menyesuaikan Islam dengan kultur Barat. Nostalgia kemenangan Islam di Spanyol perlu direnungi sebagai kekalahan, terbukti dengan nyaris tidak diketemukannya sisa-sisa peninggalan kejayaan Islam di sana.

Ada beberapa teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk "menghibur diri" dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekadar "menghibur," barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah larut dalam modernitas. Golongan penentang ini tidak kurang kritisnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekali pun tidak selalu berhasil.

Teori lain mengatakan bahwa membesarnya fundamentalisme lebih didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa umat Islam di Palestina. Teori lain juga mengatakan bahwa maraknya fundamentalisme lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata.

Dari ketiga teori ini, nampak fundamentalisme dalam Islam maupun Barat Kristen baik secara praksis maupun teoritis menjadi penghambat terbesar terciptanya dunia yang lebih egaliter dimana Islam menjadi penyeimbang Barat dalam menghadapi rusaknya arus modernitas dan sebalikya Barat mampu menjadikan Islam sebagai penyeiring perjalanan modernitas yang ia ciptakan.

Jadi, tanpa harus menuduh Barat sebagai 'biang kerok' mundurnya peradaban Islam-meskipun dalam beberapa segi bisa dibenarkan-upaya kritik diri lebih patut untuk dipertimbangkan. Sebagai contoh adalah keheranan pernyataan yang dibuat oleh Jamaluddin al-Afgani bahwa ia mendapati Islam di Barat dan bukan di Timur. Argumentasi Iqbal pun membenarkannya, bahwa Barat telah berhasil membangun 'dunia', tetapi gagal membangun 'akhirat' sedangkan Islam berhasil membangun 'akhirat' tetapi gagal membangun 'dunia'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun