"Mau di kasih makan apa kamu nanti? Garam?" Nada bicara wanita paru baya itu agak membentak. Sepertinya dia sedang memarahi putri sulungnya.
"Tapi ma, Diana sudah terlanjur cinta sama mas Deni."
"Terlanjur cinta boleh. Asal jangan terlanjur hamil." Celetuk ayahnya. Kaget juga Diana mendengar omongan ayahnya itu.
"Astagfirullah, enggak pa. Diana gak mungkin melakukan yang namanya zinah dengan mas Deni." Air mata mulai berlinang di pipi Diana.
"Apa kamu mau hidup sengsara bersama lelaki yang kerjanya cuman pembuat garam? Pikir Diana. Pikir!" Ucap ibunya.
"Diana sudah berpikir matang-matang. Dan Diana memutuskan untuk menikah dengan mas Deni."
"Enggak. Mama nggak setuju. Pokoknya Kamu gak boleh menikah dengan lelaki itu." Semakin tinggi saja nadanya.
"Kenapa? Karena dia cuma pembuat garam? Karena dia miskin? Karena tidak sederajat dengan keluarga kita? Kenapa?" Diana mulai terisak, ia sudah tak sanggup lagi berdebat dengan orang tuanya.
"Yah, Mama tidak setuju karena alasan yang kamu sebut tadi." Ayah Diana hanya membolak-balikan koran langganannya, ia tak begitu menghiraukan mereka berdua. Karena pikirnya istrinya saja sudah cukup untuk memarahi anaknya itu.
"Mama benar-benar egois. Mama tak ada bedanya dengan perempuan-perempuan lain, Matre!"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Diana. Kontan saja ia kaget. Ia langsung memegang pipinya yang merah itu sambil masih terisak. Ayahnya langsung menaruh korannya dan berusaha meredakan emosi istrinya.
"Sudah ma, kenapa kau malah menamparnya."
"Dia kurang ajar. Berani sekali bicara seperti itu pada mama." Diana bangkit dari kursinya dan berjalan setengah berlari menuju kamarnya.
"Tunggu! Mama belum selesai bicara!" Tapi Diana tak menghiraukan. Ia terus berjalan menuju kamarnya.
***
Teriknya pancaran sang mentari tak membuat hilang semangat para petani yang sedang membuat suatu benda padat berwarna putih dan berbentuk kristal yang biasa kita sebut garam. Deni salah satunya. Lelaki yang sangat dicintai Diana ini sibuk mengumpulkan air laut dipetak-petak penampungan air laut untuk menghasilkan kadar baume. Tak peduli peluh yang sudah membasahi kulitnya yang terbakar sinar matahari, ia terus melakukan aktifitasnya.
Dari kejauhan Deni melihat gadis yang jilbab ungunya berkelebat tertiup angin pantai sedang berjalan menuju ke tempat Dirinya yang sedang bekerja.
Diana? Pikirnya. Mereka melangkah saling mendekat hingga Diana terbenam di pelukannya. Dia tak peduli dengan basahnya keringat kekasihnya itu. Baginya, dengan ini beban dihatinya bisa berkurang. Mendengar isakan Diana ia langsung bertanya.
"Kenapa?" Tapi satu kalimat itu tak mampu dijawab olehnya. Sulit sekali menjelaskan. Dia hanya menangis di pelukan kekasihnya.
"Mau jalan-jalan?" Diana hanya mengangguk kecil menyetujui ajakan Deni. Mereka melangkah menyusuri hamparan pasir pantai yang terasa lembut di kaki dengan kebisuan. Ingin sekali Deni bertanya ada apa dengan kekasihnya ini. Tapi ini belum saatnya. Ia menunggu suasana hati Diana membaik.
Mereka sudah sampai, ditempat yang jauh dari keramaian. Yah, walaupun ada beberapa nelayan yang hilir mudik membawa hasil jalanya, tapi pantai ini cukup tenang. Dengan deburan ombak, desiran angin pantai yang begitu sejuk. Mereka duduk dinaungan batu besar yang mencuat dipinggir pantai.
Tapi Diana masih membisu, menatap ombak yang saling berkejar-kejaran. Tapi akhirnya, setelah beberapa lama saling membisu Diana segera membuka mulut.
"Apa Mas mencintaiku?" Hanya itu, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Membuat kening Deni berkerut.
"Kenapa?"
"Apa Mas mencintaiku?" Ulangnya.
"Kamu kenapa sayang? Ceritakan masalahmu."
"Apa Mas mencintaiku?" Kini dengan tangis mengucapkannya. Deni memegang bahunya yang berguncang dan langsung merangkul berusaha menenangkan hatinya.
"Iya, aku mencintaimu. Kenapa?"
"Nikahin aku Mas." Deni melepas pelukannya, kenapa mendadak seperti ini.
"Apa orang tuamu sudah merestui?" Diana menggeleng pelan dan kembali berpaling ke arah laut yang begitu luas.
"Sudah ku duga." Ucapnya lagi.
"Aku minggat." Deni terkejut mendengarnya.
"Aku tidak tahan hidup dalam rumah bersama kedua orang tuaku yang sangat egois!. Mereka bukan menganggapku anak, mereka menganggapku boneka yang disuruh untuk menuruti kemauannya." Diana berpaling lagi ke arah Deni, menatap mata hitamnya lekat-lekat.
"Apa kau mau menikahiku?" Deni bangkit berdiri, berjalan ke depan membiarkan sang ombak menyentuh kaki telanjangnya.
"Aku rasa..." Dia menghentikan kalimatnya. Diana hanya diam saja, menunggu lanjutan kalimat yang terhenti itu.
"Apa kau mau menikah dengan seorang pembuat garam?" Tanyanya.
Diana mendesah pelan. "Kenapa semua orang bertanya padaku 'Kau mau menikah dengan seorang pembuat garam?' Bahkan dirimu. Kenapa? Kenapa memangnya kalau aku menikah dengan seorang pembuat garam?"
"Yah, karena kau tidak akan bahagia nanti." Kini, Diana sudah berada disamping Deni lagi. Berdiri seakan menentang deburan ombak yang siap untuk menghantam mereka berdua kapanpun.
"Kau salah. Justru sebaliknya. Hidupku kan terasa hambar jika tanpamu. Kau tau? Kau bagai garam dalam hidupku, tak peduli akan pendapat orang-orang. Aku akan tetap mencintaimu." Kalimat yang Diana lontarkan mampu meluluhkan hati kekasihnya itu. Deni menatap wajah Diana lekat-lekat dan menggenggam jemarinya erat-erat.
"Ya, aku ingin menikah denganmu, menjalani hidup bersama, dan banyak sekali yang ingin kulakukan bersamamu sampai mati." Air mata semakin deras mengalir membasahi pipi Diana, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena kebahagiaan. Kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya sejak lama.
"Aku mencintaimu sayang, sudah lama aku memimpikan ini. Hidup bersamamu, menciptakan sebuah keluarga sederhana, menggendong bayiku sendiri." Deni langsung memeluknya, erat sekali.
"Ya, kita akan memulainya dari sekarang."
Bibir mereka saling bertaut. Mereka lakukan dengan penuh kasih sayang bukan dengan rasa nafsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H