Mohon tunggu...
Hoerul Iksan
Hoerul Iksan Mohon Tunggu... -

Saya dari Subang, berhubung kotanya tak dicantumkan ku pilih saja Bandung. -_-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Bukan Anak Kucing

18 April 2015   11:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keluarga?
Apa itu keluarga?
Apakah aku mempunyai
keluarga?
Apakah keluargaku sedang
mencari-cari keberadaanku? Pertanyaan itu adalah
pertanyaan yang biasa di
lontarkan oleh para anak
yang hidup di sebuah Panti
asuhan, anak yang di
telantarkan, anak buangan yang lebih kasarnya. Yah,
mereka terjebak di dalam
panggung hidup yang kasar
yang biasa kita sebut DUNIA.
Herman adalah satu dari
jutaan bocah yang hidup tanpa ayah dan ibu di sisinya.
Dia tinggal di sebuah panti
asuhan bersama dengan
saudara-saudara tirinya yang bernasib sama, kurang
beruntung.
Sungguh, bocah yang
berumur sepuluh tahun ini
belum pernah bertemu
dengan kedua orang tua nya bahkan melihat wajahnyapun
belum pernah.
Apakah aku mirip dengan
ayah atau ibu?
Dan bagaimana rupa ayah dan
ibuku? Pertanyaan itu terus saja
menguasai pikirannya.
Dia pernah bertanya pada bu
Yanti, pengasuhnya. Hampir
setiap hari malah. Sehingga
terkadang Bu Yanti merasa risih dibuatnya.
Bayaangkan saja, orang
manapun akan bosan jika di
tanya itu-itu terus.
"Apa ibu tau keberadaan
orang tua Herman?" Pertanyaan itulah yang selalu
keluar dari mulut Herman.
"Entah sudah berapa kali kau
mengatakannya. Tapi
sungguh ibu tidak tau.Mereka
kemari sepuluh tahun lalu. Itupun saat mereka
membuangmu."
"Membuangku?" Herman
menundukkan kepalanya. Ia
tidak mengerti apa maksud
omongan Bu Yanti. "Maksudku.." Ia berpikir-pikir
apa tepatnya selain kata
membuang.
"Maksudku kau diantarkan
kesini oleh kedua orang
tuamu sejak kau masih bayi." Bu Yanti melihat buliran air
jatuh dari wajah Herman ke
lantai yang ternyata itu
adalah air mata. Dia menangis
rupanya. Dipegangnya
pundak anak kecil itu dan mencoba untuk
menghiburnya
"Sudahlah, jangan menangis.
Maafkan omongan Ibu tadi.
Ibu mengerti perasaanmu."
"Apa Ibu waktu kecil orang tuanya masih ada?" Bu Yanti
mengangguk.
"Itu artinya ibu tak mengerti
perasaanku." Ucapnya. Lalu
Herman pergi menuju
kamarnya. Bu Yanti hanya bisa menatap punggungnya
yang kian menjauh dengan
rasa bersalah. Jam sepuluh, sudah waktunya
anak-anak untuk tidur.
Semuanya tidur nyenyak
diranjang yan terjejer di
ruangan yang cukup luas
untuk menampung puluhan anak. Tapi Herman tidak bisa
tidur. Ia terus saja
memikirkan dimana
keberadaan orang tuanya. Ia
bingung mau mencari kemana
dan ia juga bingung harus bertanya pada siapa.
Bu Yanti? Tau sendirikan tadi,
dia hanya menjawab "Aku
tidak tau." Pada Pak Slamet
yang bertugas penjaga panti
asuhan ini justru malah memakinya dengan kasar.
"Alah, sudahlah jangan sok
dramatik begitu. Kau itu
hanya mahluk buangan! Tidak
lebih. Untung kami mau
menampungmu. Bagaimana kalau tidak? Mungkin kamu
akan tinggal dijalanan atau
dibawah kolong jembatan
bersama para gembel. Jadi,
berhentilah bertanya soal
ayah dan ibumu!" Yah, itu adalah kali pertama Herman
bertanya padanya dan ia tak
ingin bertanya padanya lagi.
Satu ide terbesit muncul dalam
otaknya. Ide yang sangat
konyol. Jika tidak ada yang tau, kenapa tidak mencari
sendiri saja? Yah, tentu.
Besok, setelah shalat subuh, ia
harus pergi. Tapi kemana? Ah,
itu urusan nanti. Yang
terpenting adalah mencari saja dulu, mungkin mereka masih
berada di sekitar kota ini.
Seperti biasanya, setiap kali
hendak tidur ia selalu
mencoret-coret di kertas
kosong merangkai kata demi kata untuk melampiaskan
kerinduan terhadap orang
tuanya. Entah sudah berapa
lembar ia menulis dengan pena
yang hampir habis tintanya.
Mungkin ini yang terakhir. Karena pikirnya ia akan
segera bertemu dengan
mereka. Kali ini ia mencoba
membuat puisi, memang
kurang bagus. Tapi itulah
perasaan yang terungkap. Di kertas putih ku gores tinta
hitam
Menyampaikan maksud yang
tak terlukis
Ku tulis di sini "Hai Yah. Hai
Ibu" Jauh dari lubuk hatiku
Aku sangat merindukan
kalian
Ingin rasanya aku bertemu
dengan kalian
Mendapatkan kasih sayang yang sudah ku impikan
Aku selalu bertanya
Kenapa kalian pergi
meninggalkanku?
Apa kalian berusaha
menghapus tentangku dalam pikiran kalian?
Tidakkah kalian
merindukanku?
Tidakkah kalian
menginginkanku?
Ibu.. Ayah..
Aku bukanlah anak kucing
Yang ditinggalkan begitu saja
Sungguh..
Aku selalu merindukan hal
yang tak pernah ku alami Di timang
Di gendong
Di manja
Oleh orang tuaku sendiri
Tapi..
Itu hanyalah sebuah impian Karena aku hanyalah seorang
bocah yang dicampakkan Ah, lega juga. Ia melipat
kertas itu lalu di masukkan
kedalam laci yang sudah
hampir penuh terisi lembaran
kertas. Dan ia mulai terlelap. Bu Ida begitu gelisah, ia tak
bisa tidur malam ini.
"Kau terlihat gelisah." Ucap
Pak Robi, suaminya.
"Aku sangat tidak sabar ingin
bertemu dengan anak kita mas. Bagaimana dengan
keadaanya? Apakah dia sudah
besar? Ah, sudah sepuluh
tahun kita meninggalkannya
mas." Pak Robi tersenyum
mendengarnya. Rupanya itu masalahnya.
"Sabar, siang nanti kita akan
kesana, mengambil kembali
anak kita. Sebaiknya kamu
tidur. Agar malam cepat
berlalu." Yah, mereka berdua adalah sepasang suami istri
yang telah meninggalkan
anaknya di panti asuhan.
Mereka saat itu sangat miskin.
Karena tak ada harta waris
dari orang tua mereka. Orang tua mereka mengusirnya
karena Bu Ida waktu itu
mengandung bayi Pak Robi
yang padahal mereka belum
menikah. Saat melahirkan
bayinya ia titipkan disebuah panti asuhan karena tidak
mampu untuk mengurusnya.
Tapi, dengan jerih payah
mereka kini sudah sukses.
Sepuluh tahun bukanlah
waktu yang sebentar. Sebuah mobil Avanza warna
hitam berhenti tepat
dihalaman Panti. Bu Yanti dan
anak-anak keluar dan melihat
mobil itu. Anak-anak saling
ribut. Ia pada menebak-nebak kalau mereka akan
mengadopsi dirinya. Sepasang
suami istri keluar dari mobil
dan menghampiri Bu Yanti.
"Selamat siang." Ucap Bu Ida
ramah. "Yah, siang juga." Sahutnya
dengan senyum dibibirnya.
"Masih ingat kami Bu?" Tanya
Bu Ida.
Bu Yanti memperhatikan
mereka berdua. Berusaha mengingat-ingat kalu dia pernah bertemu mereka. Ia
tampak terkejut ketika sudah
mengingatnya.
"Anda kan.."
"Ya bu, kami kesini mau
menjemput anakku." Ucap Pak Robi. Bu Yanti berpaling
ke anak-anak. Matanya
mencari-cari Herman.
"Dimana Herman?" Tak ada
yang menjawab.
"Deni, mana Herman?" Ia bertanya lagi pada Deni,
teman dekat Herman. Tapi
Deni menggelengkan
kepalanya. Iapun kembali
berpaling ke arah Mereka
berdua. "Tunggu sebentar, mungkin
dia masih dikamar. Karena
tadi malam ia marah pada
saya." Iapun pergi masuk.
Tapi, ketika ia kembali
wajahnya tampak panik. "Dia tidak ada." Bu Ida dan Pak
Robi saling pandang.
"Kemana?" Tanya Bu Ida. Ia
juga tampak panik. Bu Yanti
memperlihatkan lembar
kertas yang tenyata surat dari Herman.
"Dia meninggalkan ini."
Ucapnya sembari
menyodorkan kertas itu ke
Bu Ida. Dan Bu Ida
membacanya kata demi kata. "Astaga. Mas, dia sedang
mencari kita!" Yah, Herman sedang
menyusuri trotoar di pinggir
jalan yang penuh dengan
manusia yang berlalu lalang
mengurusi kesibukannya.
Kakinya mulai lelah, ia bingung harus kemana
melangkah. Ah dasar! Kenapa
tidak di pikirkan matang-
matang. Iapun duduk di
pinggiran trotoar. Mencoba
istirahat sebentar. Apakah ia harus kembali saja?
Tidak, ini sudah setengah
jalan.
Tapi mau kemana?
Pikiran dan hati terus
berdebat mencoba mempengaruhi Herman. Tapi,
sepertinya keduanya gagal.
Karena perhatian Herman
tertuju pada seorang anak
perempuan seumurannya
sedang menyabrang jalan tidak jauh dari tempatnya
duduk. Dan dia tak menyadari
bahwa di sebelah barat ada
sebuah mobil kijang sedang
melaju begitu cepat. Tak
banyak pikir lagi ia langsung berlari ke arahnya.
"Woy! Awas!" Teriaknya. Lalu
mendorong keras gadis itu
hingga terpental ke trotoar.
Tapi, Herman malang
nasibnya. Bemper depan mobil itu keburu menubruk tubuh
mungil Herman.
Semuanya terjadi begitu saja,
kepalanya pening, tubuhnya
terasa sakit semua, mata
begitu berat. Dan semunya menjadi gelap. Saat Herman membuka
matanya, ia sedikit bingung
karena tempat ini sangat
asing. Dan kenapa dirinya
penuh dengan perban? Oh,
kenapa harus di infus segala? Dan lebih parah lagi ia tak bisa
menggerakkan tubuhnya.
Satu-satunya yang dapat
digerakkan hanyalah mata.
Dan mata itu melihat pintu
ruangan terbuka dan ada beberapa orang masuk. Hanya
satu yang ia kenal. Bu Yanti.
Sedang keduanya ia tak
kenali. Tapi, kenapa mereka
bertiga menangis. Wajar kalau
Bu Yanti tapi mereka berdua? Siapa mereka?
Perlahan tangan wanita yang
tak dikenali Herman
menyentuh lengannya dengan
lembut.
"Herman, ini mama sayang." Ucapnya sambil terisak.
Mama? Apa wanita ini baru
saja mengatakan kalau dia
mamanya Herman?
"Mama dan Papa mau
membawa pulang kamu ke rumah." Ucapnya. Seorang
lelaki disamping wanita itu
menyambung.
Apakah mereka benar-benar
orang tuanya?
Astaga. Apakah ini mimpi? Tapi, rasa sakit disekujur
tubuhnya membuktikan
kalau dirinya sedang tidak
bermimpi.
"Maafkan kami sayang,
karena meninggalkanmu begitu saja." Ucap Bu Ida
tersedu.
Ingin rasanya Herman
memeluk mereka berdua, tapi
tubuhnya berbeda pendapat.
Sulit untuk digerakkan. Dengan susah payah
membuka mulutnya dibalik
infusnya.
"Ma..Ma. Pa..Pa." Walau dua
kata tapi mampu membuat
nafasnya tersenggal-seng gal. "Ya sayang, ini kami."
Tangannya dipaksa untuk
bergerak. Tak peduli dengan
sakit yang amat sangat.
Perlahan tangannya
terangkat, berusaha menyentuh wajah ibunya. Bu
Ida mencondongkan
wajahnya agar lebih mudah
untuk digapai.
Dielusnya wajah itu, wajah
sang ibu yang tak pernah dilihatnya.
"Hei, sebaiknya kamu jangan
terlalu banyak bergerak.
Nanti tambah sakit lukanya."
Ucap Pak Robi dengan lirih.
Tapi Herman malah melepaskan infusnya.
"Bolehkah aku memeluk
kalian, aku sangat
merindukan kalian dan ini.. Ini
adalah suatu kebahagian
bagiku." Dadanya naik turun berusaha menahan rasa sakit
pada dadanya. Bu Yanti hanya
menatap keharuan itu. Ia tak
bisa membendung air
matanya yang menerobos
keluar. "Aku sangat memimpikan
saat-saat seperti ini. Bertatap
wajah dengan ayah dan
ibuku, pelukan hangat dari
orang tua, dan.. Dan masih
banyak lagi." Kini, ia berusaha bangun. Tak ada yang
melarang. Bukankah itu
membahayakan tubuhnya?
Beberapa saat Herman sudah
terjatuh dalam pelukan ibu
dan ayahnya. Oh, seperti inikah rasanya
pelukan hangat dari sang ibu
dan ayah?
"Sekali lagi maafkan kami
sayang, kami adalah orang tua
yang sangat payah yang tak bisa membahagiakan
anaknya. Tapi kami janji,
kami akan membuat kamu
bahagia. Sangat bahagia." Tapi
tak ada respon dari Herman.
Tubuhnya tak lagi bergerak. Bu Ida sangat panik,
begitupun suaminya.
Sambil menggoyang-goya
ngkan tubuh mungilnya ia
memanggil-mangg il. "Herman? Sayang? Kamu
baik-baik saja?" Tak ada
jawaban. Matanya kini
terpejam, detak jantungnya
sudah tak ada.
Sungguh, mereka baru saja bertemu dengan anaknya tapi
kenapa tuhan justru
mengambilnya.
Tangis pilu meramaikan
ruangan ini. Seperti alunan
musik ucapan selamat tinggal. Yah, Herman sudah tak kuat
untuk bernafas. Ia akan pergi
untuk selamanya. Tapi
setidaknya ia bahagia. Karena
kematiannya dihadiri oleh
kedua orang tuanya. Di peluknya lagi tubuh yang kini
menjadi jasad, seolah tak ingin
membiarkannya pergi.
Mereka berdua sangat
menyesal.
Menyesal karena membuang anaknya.
Kini bocah itu sudah tenang di
alam sana.
Impian untuk merasakan
pelukan hangat sudah
tercapai. Kini, ia meninggal dengan damai di pelukan ayah
dan ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun