Mohon tunggu...
HIDAYAH RAHMAD
HIDAYAH RAHMAD Mohon Tunggu... Lainnya - -HnR-

Pekerja Profesional dan Interpreter

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sawah Pengganti

27 Mei 2022   14:28 Diperbarui: 7 Juli 2022   09:27 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika sedang pulang kampung, kegiatan di pagi hari yang saya sukai adalah jalan santai menyisiri sudut desa. Suatu hari di tengah jalan pagi saya menghentikan langkah di tepi hamparan hijau yang tergelar sejauh mata saya memandang.

Sawah. Tempat yang entah kenapa saya merasa begitu lekat dengan segala tentangnya, bau lumpurnya, gemercik irigasinya, aroma basah embunnya. Lalu, sejenak kisah-kisah berlesatan di benakku; cerita masa kecil hingga remaja yang terlewati di sana, memori mendadak berubah menjadi melankoli, di tempat ini.

Rata-rata penduduk usia tua desa ini berprofesi sebagai petani, atau buruh tani. Pun ibu saya profesi utamanya bisa dikatakan sebagai petani, meski kadang juga melakukan pekerjaan lain secara serabutan.

Ibu mengenal pekerjaan mengolah humus tanah untuk ditanami ini sejak kecil. Meski sempat jeda merantau di usia dewasanya, namun bisa dikatakan seumur hidup dia akrab dengan aktivitas bertani. Kakek saya, (yang wafat saat ibu masih di kandungan) meninggalkan sebidang tanah keluarga untuk digarap bersama.

Puluhan tahun ibu menggarap sawah yang statusnya milik nenek saya itu bergantian dengan saudaranya yang lain dengan konsekuensi siapa yang menggarap harus menjamin kebutuhan nenek selama hidupnya. Dan ibu adalah anak yang dipilih nenek untuk menjadi teman hidup di hari tuanya.

***

Sewaktu kecil sampai usia sekolah menengah saya masih terbilang sering membantu ibu di sawah. Pekerjaan yang sama sekali jauh dari kata ringan buat anak usia sekolah saat itu. Jarang ada anak yang mau membantu orangtuanya bekerja di sawah. Pun sebenarnya saya juga demikian, karena terpaksa saja. Bayangan saya tentang sawah saat itu adalah tempat yang melelahkan, dan aktivitas di dalamnya bukan pilihan pekerjaan yang ingin saya lakukan di masa depan.  

Suatu hari, sewaktu wajah desa masih berselimut halimun, saya dan ibu sudah berpeluh keringat menyiangi rumput yang menyelubungi tanaman padi kami. Biasanya kami tak beranjak sebelum terik matahari memanggang punggung. Hari itu di pematang jalan pulang ibu saya berpesan;

"Le, jika kelak kamu kamukten belilah sepetak, dua petak sawah, biar ibu yang nggarap. Sawah ini, sepeninggal nenek kelak sudah bukan jatah ibu lagi."

Saya tidak begitu ingat apakah waktu itu turut mengamini atau hanya diam saja tanpa menanggapi pesan penuh harap sekaligus kekhawatiran dari ibu saya itu. Mungkin fokus saya saat itu hanya bagaimana mempercepat langkah untuk segera sampai di rumah kemudian istirahat setelah sepagian punggung ini terasa panas terpanggang matahari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun