Di lini masa saya melihat seorang penceramah (di Indonesia tentu saja) mengatakan, bahwa mereka yang sholat berjamaah dengan shaf berjarak adalah bentuk upaya mengacak-acak simpul sholat. Sholat dengan shaf berjarak di masa pandemi ini tak lain hanyalah sebagai fitnah dajjal.
Mungkin si penceramah ini tidak menyadari, bahwa sholat dengan penerapan prokes ini dilaksanakan bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia, bahkan di Haramain. Itu artinya dia juga menyalahkan ulama-ulama seluruh dunia yang berpendapat bahwa hukum sholat seperti ini adalah boleh.
Sah-sah saja jika seorang ulama mengemukakan tafsirnya tentang tata cara beragama, tentang jalan yang sesungguhnya bila hendak menuju nirwana. Tetapi yang menjadi soal adalah jika seolah-olah penafsiran yang dia yakini adalah yang paling benar, dan selainnya dia anggap salah belaka. Seolah mengajak orang menuju surga namun merasa hanya dia sendiri yang memegang kunci pintunya.
Salah satu pondasi yang membuat keberislaman ini menjadi kuat adalah kemampuan umat islam dalam menyikapi sebuah perbedaan. Islam lemah karena sebagian orang lebih giat menggali jurang perselisihan dibanding membangun jembatan untuk merapatkan rentang dari setiap perbedaan.
***
Nampaknya untuk kesekian kali saya harus mengutip hikmah dari kearifan cara Habib Ali Al jufri dalam menyampaikan pendapatnya atas adanya perbedaan pendapat dalam berislam.
Dalam sebuah kesempatan Beliau pernah ditanya, bagaimana menyikapi banyak orang yang cinta kepada dirinya, namun tidak semua setuju dengan pendapatnya.Â
Maka jawaban ajaib beliau adalah;
"Katakan kepada mereka, saya juga cinta, dan lanjutkan perbedaan ini."
Alangkah indahnya cara berislam itu jika untaian hikmanya meluncur dari lisan ulama seperti ini.Â