Mohon tunggu...
HIDAYAH RAHMAD
HIDAYAH RAHMAD Mohon Tunggu... Lainnya - -HnR-

Pekerja Profesional dan Interpreter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agenda Orangtua

11 Februari 2021   11:37 Diperbarui: 11 Februari 2021   15:49 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.freepik.com

Di sebuah cafe di bilangan Jakarta Barat, saya sedang menunggu seorang teman yang mengajak saya betemu sore itu. Hujan gerimis hari itu sepertinya membuat saya harus menunggu lebih lama dari yang saya perkirakan. Cappuccino Latte di depan saya sudah setengah berkurang. Empat puluh menit berlalu dari waktu yang dia janjikan, teman saya belum juga kelihatan.

Sebenarnya saya bukan tipe orang yang terlalu kepo terhadap urusan orang lain. Akan tetapi suara dari percakapan dua perempuan muda di seberang meja saya itu terlalu keras untuk saya abaikan begitu saja. Waktu Empat puluh menit sangatlah cukup buat saya mengerti apa yang sedang kedua perempuan muda itu bicarakan.

Seorang dari mereka lebih banyak berbicara, sedangkan satunya lagi hanya sesekali menimpali, seolah sekedar memberi tanda bahwa dia cukup antusias mendengarkan apa yang disampaikan lawan bicaranya.

Si perempuan yang mendominasi pembicaraan itu sepertinya sedang berkeluh kepada kawan bicaranya. Dia sedang membagi rasa kepada sahabatnya atas apa apa yang terjadi pada dirinya. 

Predikat mahasiswi fakultas kedokteran di mata orang lain mungkin akan terlihat sebagai capaian luar biasa hebat. Namun tidak demikian bagi perempuan itu, baginya menjalani kehidupan kampus tak lebih dari sekedar mengulur hari-hari menjenuhkan yang ingin segera diakhiri. Benar, perempuan tersebut frustasi atas kehidupannya menjalani kuliah di fakultas kedokteran karena menuruti kehendak orangtuanya, bukan atas pilihannya sendiri.

***

Cerita sekilas bertahun lalu itu tiba-tiba kembali muncul di kepala, ketika saya sedang membaca sebuah buku parenting yang baru saja dibeli oleh istri saya hari itu.

Waktu dua tahun menjadi orangtua ini, terkadang memberikan kesempatan bagi saya untuk berada dalam situasi layaknya kecamuk antara pikiran dan hati. Dalam pergulatan pikiran sendiri, sesekali saya mencoba menggambar masa depan anak saya. Membayangkan dia seperti yang saya inginkan, dan berbagai gambaran lain tentang masa depan anak yang sejujurnya hanya rasionalisasi dari angan-angan dalam hati saya sendiri.

Saya tersadar bahwa apa yang saya lakukan tak ubahnya seperti apa yang dilakuan oleh orangtua perempuan yang saya temui di cafe waktu itu. Bedanya, yang saya lakukan masih sebatas dalam tempurung kepala saya sendiri. Mungkin saya tak sendirian, banyak orangtua terperangkap dalam kendali rasional pikiran, juga ego-nya sendiri ketika menjalani peran pengasuhan.

Sambil membenarkan posisi duduk, saya melanjutkan untuk membuka halaman buku The Conscious Parent, karya Dr. Shefali Tsabary yang ada di tangan saya sore itu. Pada sebuah paragrafnya tertulis;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun