Ketika pertama kali kau datang, aku merasakan hal-hal indah yang sebelumnya tak aku ingat, kau bawakan seutas tali bagi mataku yang hampir buta. Hari-hari yang gelap kini sedikit bercahaya, lentera yang kau nyatanya mampu menghidupkan kembali hati yang sudah terluka.
Aku tawarkan padamu bunga mawar, yang aku petik langsung dari lubuk hatiku. Mawar ini berbeda, harumnya mengalahkan aroma orang suci, indah melebihi kecantikan bidadari.
Tapi tunggu dulu, mawar ini tumbuh bersama tsunami air mata, dentuman kecewa, dan badai amarah. Tak ada lagi yang tersisa selain mawar liar ini, tak ada lagi yang aku punya selain hati yang sudah lama aku kunci.
Kau buatku terbang melampaui ujung dimensi, memberikan warna-warna yang sudah lama tak aku lihat. Membuatku kembali bangkit, menyongsong cita-cita yang sempat aku buang.
Pelukanmu yang hangat sampai kini masih terasa, ciumanmu yang nakal sampai saat ini masih aku ingat, senyumanmu yang manis masih tersimpan di memori.
Suara tawamu, tatapan matamu, sentuhan indahmu, semuanya masih menempel hingga tak terasa air mataku berjatuhan. Menyaksikan penelantaran harap yang sempat aku banggakan, membinasakan semua pelangi yang tadinya bersemayam di lubuk hatiku.
Tiba-tiba kau menghilang, meninggalkan lara yang kini semakin kejam menyiksaku. Membuatku terjatuh, tertikam, tenggelam jauh di dasar samudra. Lalu aku hilang, tak ada tujuan, tak ada apapun selain kenangan yang sampai sekarang masih bertahan di hatiku.
Kau padamkan lilin pemberianmu, membuatku kembali buta, menghancurkan setiap hal yang aku raba, menelantarkan kepingan-kepingan hati yang sebelumnya sudah aku sulam.
Kini mawarku telah layu, tak ada lagi yang bisa kuberikan selain air mata yang semakin meracuni segenap kehidupanku. Membuatku semakin gila, membayangkan hal-hal yang sebelumnya sempat membuatku kembali percaya.
Namun apa daya, kini kau sudah pergi jauh entah ke mana, menyisakan perih yang aku pun tak tahu bagaimana cara untuk menyembuhkannya.