Ada satu hal menarik ketika seseorang mengomentari tulisan Saya yang berjudul "Indonesia Punya Silicon Valley, Mungkinkah?" yang Saya share juga di Twitter. Orang itu berkata bahwa kecerdasan seseorang ditentukan oleh faktor genetik, tentunya dia menganggap Saya adalah seorang penulis yang bodoh karena telah membuat tulisan itu.Â
Sontak saja Saya membalas, "semua orang berpotensi menjadi pintar dan bodoh, faktor genetik hanyalah bonus." Yes, orang itu menertawakan Saya karena berkata bahwa faktor gen adalah bonus, dan Saya pun tidak keberatan. Tetapi pada faktanya, kecerdasan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Sebelum Saya menjelaskan landasan perkataan Saya, ada baiknya Saya jelaskan dulu perspektif kecerdasan berdasarkan genetik.
Dikutip dari laman Halodoc, alam menyelidiki masalah di atas, para peneliti pernah menggunakan tikus sebagai alat percobaannya. Mereka meyakini kalau kecerdasan adalah salah satu condition gen yang hanya dimiliki oleh gen ibu. Nah, studi yang dimodifikasi secara genetik itu membuktikan hal tersebut.Â
Para peneliti mengidentifikasi sel-sel yang hanya berisi gen ibu atau ayah di enam bagian berbeda dari otak tikus. Bagian ini mengontrol fungsi kognitif berbeda, dari kebiasaan makan hingga memori. Sel dengan gen paternal terakumulasi di bagian sistem limbik, yang terlibat dalam fungsi seperti seks, makanan, dan agresi. Tetapi para peneliti tidak menemukan sel paternal di korteks serebral, di mana fungsi kognitif paling maju berlangsung. Contohnya seperti penalaran, pemikiran, bahasa, dan perencanaan.Â
Namun jangan kecewa dulu, objek penelitian itu bukan hanya dari tikus, melainkan juga berasal dari interview terhadap wanita usia 14 - 22 tahun, seperti yang dilakukan oleh peneliti dari University of Washington. Hasilnya, prediktor terbaik adalah IQ dari gen sang ibu.
Waktu kelas 2 SD Saya pernah tidak naik kelas, tentu fakta itu teramat menyakitkan dan membuat Saya malu. Secara genetik, Saya tidak memiliki bakat kecerdasan. Tetapi, apa yang membuat Saya akhirnya bangkit? Tentu jawabannya adalah kemauan untuk berubah.
Di usia 7 tahun Saya sudah merasakan kegagalan, sejak saat itu Saya mulai berubah. Dulu Saya tidak lancar membaca, tidak bisa ilmu matematika, apalagi bahasa inggris. Tapi rasa malu itu membuat Saya nekat untuk berubah, dalam waktu singkat Saya sudah lancar membaca dan berhitung. Saya pun dipindahkan ke golongan A, di mana isinya anak-anak pintar.
Secara genetik, Saya tidak mewarisi gen IQ tinggi tetapi kemauan Saya untuk berubah yang akhirnya membuat Saya memenangkan kompetisi karya ilmiah remaja, english debate, kompetisi menulis esai tingkat nasional (penulis terpilih).Â
Teman-teman Saya menganggap Saya pintar, banyak followers Saya di Instagram menganggap bahwa Saya orang yang cerdas, objektif, bijak, dlsb. Namun label-label itu tidak penting buat Saya, karena Saya masih merasa sebagai orang bodoh yang hidup di dalam univers yang teramat luas ini.