Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Peran Media dalam Pembodohan SDM di Indonesia

14 Februari 2021   18:45 Diperbarui: 14 Februari 2021   18:52 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kalian bertanya, "Apa penyebab sumber daya manusia Indonesia kurang maju", jawabannya selain kurangnya faktor literasi, pembodohan oleh media pun menjadi salah satu faktor penyebabnya. Saat ini banyak media yang lebih mencari click bait, mencari rating yang tinggi dengan membuat judul berita yang tidak seimbang dengan isi. Atau bahkan, memuat berita secara sepihak.

Berita-berita semacam itu bukan hanya soal politik, tapi sudah menyasar ke kehidupan personal publik figur. Masih segar di ingatan kita bagaimana salah satu jurnalis Detik membuat artikel kehidupan seks Nora pasca dipenjaranya Jerinx, dan responnya pun tentu banyak yang kontra. Kasus ini membuat dunia jurnalistik Indonesia kembali dipertanyakan, bagaimana bisa redaktur meloloskan artikel itu? Maka kode etik jurnalisme pun, kembali dipertanyakan keabsahannya.

Namun pada tulisan kali ini Saya tidak akan membahas artikel yang dimuat oleh detik, tapi oleh rata-rata media mainstream yang berkaitan dengan vaksinasi covid-19, yaitu masalah sanksi bagi mereka yang menolak untuk divaksin.

Sebagian dari kita sudah sering melihat berita tentang ancaman bagi masyarakat yang menolak untuk divaksin, mulai dari sanksi administratif hingga bakal dihentikannya bansos bagi mereka yang menolak. Memang, secara validitas berita itu dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak ada salahnya memuat berita itu. Namun yang Saya pertanyakan, di mana letak keseimbangan dari vaksinasi itu? Masyarakat juga berhak tahu, apa jaminan yang diberikan oleh Pemerintah jika terjadi efek lain (munculnya penyakit lain) terjadi setelah melakukan vaksin.

Sejak awal wacana wajib vaksin, Saya pun selalu meninggalkan komentar, "Bagaimana jika ada efek samping bagi orang yang divaksin?", karena ibu Saya mempunyai riwayat penyakit jantung, maka Saya harus tahu langkah apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah jika nantinya (amit-amit) ibu Saya wafat setelah mendapatkan vaksin.

Tidak banyak media yang memberitakan artikel yang Saya tanyakan, maka Saya memilih untuk mencarinya sendiri. Akhirnya Saya menemukan di laman alodokter, yang menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) vaksin Covid-19 belum bisa diberikan kepada penderita yang mempunyai penyakit gagal jantung dan jantung koroner. Sedangkan PAPDI menyarankan jenis vaksin mRNA, karena lebih aman bagi yang menderita penyakit jantung. Dalam laman itu juga disebutkan penyakit dalam lainnya seperti Asma, Hipertensi, Diabetes, HIV, Kanker, Obesitas, Penyakit Hati, Penyakit Paru Kronis, Ginjal, dan Gangguan Autoimun. Bagi yang ingin membacanya, silahkan klik link ini.

Salah satu media yang juga tidak berimbang dalam menyampaikan berita adalah Gelora, yang dalam banyak artikelnya memuat judul dan tulisan yang tendensiun, terutama yang berkaitan dengan politik. Saya pun sering melihat laman ini memuat berita tentang sanksi bagi orang yang menolak untuk divaksin, padahal, berita tentang jaminan dari Pemerintah bagi penerima vaksin yang mengalami efek samping seperti cacat hingga meninggal dunia, juga perlu diangkat oleh media tersebut.

Saya kutip dari laman Kontan,  Presiden Joko Widodo telah meneken Perpres Nomor 14 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease. Perpres yang diteken pada 9 Februari 2021 itu memuat sejumlah perubahan, penghapusan aturan lama, hingga penambahan aturan baru. Dikutip dari lembaran Perpres yang diunggah di laman resmi Sekretariat Negara pada Sabtu (13/2), salah satu aturan baru, yakni soal pemberian kompensasi untuk peserta vaksinasi yang mengalami kecacatan atau meninggal dunia setelah disuntik vaksin Covid-19. Aturan itu tercantum pada pasal 15B Perpres Nomor 14 Tahun 2021.

Ya, media seperti Gelora seharusnya bisa menyajikan berita yang berimbang, bukan hanya artikel tendensius yang mengarah ke Pemerintah. Saya perhatikan pun, yang berkomentar dalam artikel yang dimuat oleh gelora kebanyakan isinya komentar sumpah serapah, kata-kata yang tidak pantas yang dilontarkan oleh mereka yang sering disebut dengan kadrun. Hal itu tentunya membuat Saya semakin merasa miris dengan kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia.

Negara yang maju bukan hanya negara yang diukur dari pendapatan per kapita, tetapi juga dari segi kualitas sumber daya manusianya. Sedangkan di Indonesia? Orang-orang sering diberi konten yang tidak berimbang, tendensius, hingga konten yang malah merusak moral beserta etika generasi penerus.

Peran media dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia sangatlah penting, terutama dalam masa kemajuan teknologi yang pesat seperti sekarang. Jika banyak pemilik media, jurnalistik, hingga redaktur selalu mementingkan rating maupun viewer dari artikel yang tidak berimbang bahkan tidak mendidik, bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan kembali terjajah dari semua sisi secara keseluruhan. Dan jika sudah begitu, kami yang tidak memiliki power hingga privilese bisa apa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun