Asisten dokter pun langsung menyiapkan formulir untuk perawatan ayah Saya, dan langsung membawa beliau ke ruang CT Scan untuk memeriksa kepala ayah. Dan benar saja, ada pendarahan hebat di kepala beliau. Akhirnya mereka pun memasukkan ayah ke ruang ICU dan dirawat dalam 4 hari sebelum akhirnya ayah meninggal dunia.
Dari kasus di atas, Saya menahan untuk memposting kekesalan Saya di medsos karena apa? Pertama, Saya harus menyampaikan kritikan ke manajemen rumah sakit terkait pelayanan, karena dengan begitu Saya melakukan tindakan yang benar. Kedua, setelah ayah Saya mendapatkan penanganan yang cepat,Â
Saya mengurungkan niat Saya untuk berkicau di media sosial, karena jika Saya menuruti emosi dan langsung berkicau, tentu Saya akan terkena UU ITE pasal pencemaran nama baik. Nah, akan berbeda hal jika kritikan Saya tidak direspon, atau bahkan Saya yang disalahkan, pastilah Saya akan langsung berkicau di medsos karena merasa tidak mendapatkan pelayanan dan perlindungan dari pihak rumah sakit.
Hal yang Saya lakukan bisa kalian tiru, agar terhindar dari UU ITE. Sedangkan jika kalian menjadi korban pelecehan, jadikan bukti sebagai lampiran ketika melapor ke kepolisian. Karena jika kalian memposting bukti itu di media sosial, pelaku bisa menuntut kalian menggunakan UU ITE pasal pencemaran nama baik.Â
Inilah yang sering terlewat oleh mereka yang merasa sebagai korban, dan jika pelaku "otaknya jalan" pasti mereka akan menuntut balik atas dugaan pencemaran nama baik. Begitu pula dengan video-video viral di media sosial, jika yang bersangkutan merasa dirugikan, mereka bisa melaporkan penyebar dengan menggunakan UU ITE walau sebenarnya mereka adalah pelaku. Maka dari itu, jangan sampai emosi mematikan akal kita untuk berpikir terlebih dahulu.
Saya pun pernah mengkritik pemkot terkait penanganan banjir, dan memposting ke akun instagram Saya. Kenapa hal itu Saya lakukan? Pertama, Saya sudah memberikan komentar di salah satu postingan akun instagram milik pemkot namun tidak ada tanggapan. Kedua, Saya mengirimkan dm di instagram milik pemkot namun tak juga mendapatkan tanggapan, bahkan, dibaca pun tidak. Merasa kesal, berkicaulah Saya di media sosial namun tetap menggunakan etika kesopanan, walau saat itu Saya sangat emosi.
Intinya, ketika kita mendapatkan pelayanan yang buruk dari instansi pemerintahan, sampaikan kritik langsung ke manajemen terkait, jadikan foto atau video sebagai bukti ke pihak instansi, tunggulah sampai ada klarifikasi sehingga masalah benar-benar sudah clear. Bukannya malah direkam dan disebar di medsos tanpa adanya dialog ke pihak manajemen, karena hal itu bisa membuat kita terjerat dalam pasal karet yang ada di dalam UU ITE.
Memang benar terdapat banyak pasal karet di dalam UU ITE, namun bukan berarti pasal-pasal itu bisa membuat kita takut untuk mengkritik. Karena sejatinya, kita harus paham dengan "tata cara"nya terlebih dahulu, barulah kita dapat memetakan risiko yang nantinya akan kita terima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H