Seksualitas adalah aspek kehidupan yang alamiah dan berharga, bagian yang sangat penting serta mendasar dari kehidupan manusia (Hak-Hak Seksual, IPPF). Dalam jurnalnya, IPPF menyebut bahwa saat ini terdapat banyak macam stigma dan juga ancaman, serta diskriminasi terhadap mereka yang memilih untuk "merdeka" dalam urusan seks pribadinya.Â
Memang, selama ini kita sudah banyak mendengar cerita tentang pasangan yang digerebek oleh warga maupun satuan pamong praja, karena ketahuan berbuat mesum di tempat umum. Hal itu dikarenakan, hingga saat ini Indonesia masih menjunjung tinggi norma-norma sosial maupun kesusilaan.
Jika kita berbicara mengenai hubungan seksual, kita semua mempunyai hak yang sama tanpa adanya diskriminasi seputar gender maupun orientasi seksual. Dan memang benar, tidak ada yang dirugikan selama keduanya sama-sama sudah sepakat tanpa unsur paksaan.Â
Namun yang menjadi fenomena adalah, banyak pasangan yang melakukan hubungan seksual di tempat umum, dan itu jelas sebuah kesalahan walau tidak ada pihak yang dirugikan. Tapi lagi-lagi kita sedang berbicara mengenai norma dan juga kultur yang sudah mengakar, maka sudah seharusnya kita memperhatikan tempat dan juga kondisi.
Namun ada pula kasus razia yang menyasar tempat penginapan seperti hotel, losmen, dan juga kos. Nah, bagaimana pandangan Saya mengenai razia di tempat itu? Yang pertama harus diketahui adalah, yang merazia bukanlah polisi moral, maka sudah saatnya razia di tempat seperti itu dihentikan.Â
Toh, mereka sudah sama-sama sepakat, tidak berbuat di tempat umum, tidak ada yang dirugikan. Lantas yang sering menjadi pertanyaan bagi Saya, kenapa mereka tidak berani merazia pejabat-pejabat yang melakukan hubungan seks di tempat penginapan? Tentu hal itu merupakan sebuah ketimpangan, dan tentunya merugikan pihak-pihak yang bukan pejabat.
Ketika kita berbicara mengenai ketimpangan, berarti kita sedang berbicara masalah hukum. Ketika kita berbicara mengenai Pekerja Seks Komersial, berarti kita sedang berbicara masalah ekonomi. Dua hal barusan layak dipertimbangkan bagi instansi yang gemar melakukan razia, karena sadar atau tidak, keduanya sama-sama menyebabkan efek domino, khususnya bagi hukum dan ekonomi.
Sudah bukan hal yang tabu lagi, bahwa alasan-alasan dilakukannya razia adalah berkaitan dengan yang disebut moral. Namun, siapa yang bisa menjamin moral seseorang di abad modern seperti sekarang? Agama, banyak pemuka agama yang melakukan seks bebas, kejahatan asusila, banyak pula orang beragama yang terjaring razia pelacuran.Â
Pancasila, setahu Saya ideologi bangsa ini tidak ada hubungannya dengan perkara seksual. Bahkan, Bung Karno sendiri akrab dengan para pekerja seks komersial. Norma-norma pun, tidak bisa menjamin masyarakat akan bebas dari urusan seksual di luar pernikahan.
Seseorang yang gemar membeli jasa pekerja seks komersial, belum tentu moral mereka rusak. Seseorang yang gemar seks bebas, belum tentu moral mereka rusak. Maka dari itu, mari singkirkan perkara moral dalam urusan seksual umat manusia.
Namun satu hal yang pasti, kondisi sosio-kultural negara inilah yang menyebabkan praktek razia seksualitas masih berlangsung. Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat, Inggris, dan juga belanda. Indonesia mempunyai kulturnya sendiri, termasuk dalam urusan seksualitas.
Fenomena hubungan seks sebelum menikah
Banyak pasangan yang terjaring razia merupakan pasangan yang belum menikah, nah, bagaimana dengan fenomena yang demikian? Menurut Saya, fenomena semacam itu disebabkan oleh perkembangan zaman.Â
Maka langkah untuk mengakhirinya, yaitu dengan menutup negara ini dari pengaruh luar. Solusi barusan merupakan solusi yang paling ampuh, namun, apakah efektif? Tentunya tidak. Akan ada demonstrasi, akan ada kemunduran dalam peradaban, akan ada banyak sekali reaksi keras atas tertutupnya negara ini dari pengaruh "dunia luar".
Fenomena hubungan seks di luar pernikahan merupakan sebuah siklus kehidupan, yang mau atau tidak, harus kita terima dengan segala konsekuensinya. Kenapa? Karena kehidupan ini mempunyai siklusnya sendiri, yang suatu saat akan mencapai puncaknya.
Nah, ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena hubungan seksual di luar nikah, yang paling utama adalah kebutuhan biologis. Namun jangan salah, ada juga "kebutuhan" yang dipaksa ada karena sebuah tren yang tercipta. Hal ini bisa kita lihat dari tayangan di televisi hingga kemajuan teknologi informasi. Maka dari itu sudah Saya singgung, bahwa hal ini berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Mau atau tidak, kita harus menerimanya.
Ketika kita berbicara mengenai hubungan seksual sebelum menikah, berarti kita sedang berbicara mengenai persepsi. Persepsi seksualitas ini ada dua macam, yaitu persepsi seksualitas positif dan persepsi seksualitas negatif.
Persepsi seksualitas positif adalah sebuah persepsi yang dibangun berdasarkan norma. Mereka yang mempunyai perspektif ini biasanya menganggap hubungan seksual seharusnya dilakukan setelah pernikahan, dan cenderung menjadikan agama sebagai pembatas agar mereka tidak melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan atau di luar pernikahan.
Sedangkan persepsi seksualitas negatif adalah sebuah persepsi yang dibangun berdasarkan tren. Orang-orang yang mempunyai perspektif ini biasanya menjadikan hasrat menguasai sebagai alibi dalam melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan atau di luar pernikahan. Contoh, kadang ada orang yang memaksa pasangannya untuk melakukan hubungan seks atas nama cinta. Ada juga orang yang meminta pasangannya untuk melakukan hubungan seks karena dipengaruhi oleh video porno.
Nah, cara menekan fenomena hubungan seks di sebelum pernikahan adalah dengan menanamkan perspektif seksualitas positif, dan itu dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, dan juga orangtua sebagai pembimbing moral anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H