Pahlawan, merupakan sosok yang diidentikkan dengan mereka yang berjuang demi kedaulatan negara, rela berperang demi mempertahankan keutuhan negara. Tapi lambat laun, sosok pahlawan bukan lagi yang memegang senjata.Â
Mereka yang berjuang dalam bidang akademis, bersaing dengan akademisi dari seluruh dunia juga bisa disebut dengan seorang pahlawan. Bukan hanya itu, orangtua kita juga merupakan sosok pahlawan bagi kehidupan kita. Bahkan, orang-orang di luar sana yang membantu kemudahan hidup kita, juga bisa kita sebut sebagai pahlawan.
Ada banyak sekali ulasan mengenai sosok pahlawan versi masing-masing personal. Tapi, pernahkah kalian mengulas tentang diri kalian yang lain? Dan menganggapnya sebagai pahlawan dalam hidup kalian? Ada banyak orang yang tidak sadar, bahwa peran "diri yang lain" yang ada di dalam diri sendiri merupakan sebuah "entitas" yang mempunyai peran dalam kehidupan kita. Membantu kita secara tidak langsung, mempengaruhi kehidupan kita secara tidak langsung.
Saya ingin bercerita, tentang diri Saya "yang lain" yang Saya anggap sebagai pahlawan dalam hidup Saya.
Saya adalah salah satu penyitas dari tindakan bullying, kekerasan verbal dan non verbal sering Saya alami sejak kecil. Bahkan ketika berada di sekolah menengah pertama, Saya sempat berpikiran untuk melakukan suicide. Kekerasan yang Saya alami bukan hanya berasal dari lingkungan sekolah, tapi juga dari lingkungan tempat tinggal. Tidak hanya sampai di situ, bahkan Saya sedari kecil sudah mengalami berbagai tekanan dari orangtua dan kakak Saya.
Dulu, ketika Saya mengalami depresi, Saya sering melakukan self harm. Apapun masalah yang Saya terima, dari siapapun masalah itu berasal, dan apapun bentuk masalahnya, Saya selalu melakukan self harm. Selain menyayat tangan, terkadang Saya membenturkan kepala Saya ke tembok. Terkadang Saya tidak makan, kadang tidak mandi pula dalam beberapa hari. Aktivitas selepas sekolah, Saya habiskan di dalam kamar.
Lambat laun Saya menyadari, ketika Saya duduk di bangku kuliah, mulai membaca buku aliran filsafat, Saya berpikir bahwa Saya harus berubah. Siapa yang membuat Saya berubah? Kejadian itu bermula ketika Saya mulai melakukan self talk. Membaca buku (filsafat dan spiritualism), melakukan self talk yang akhirnya membuat Saya sadar, bahwa Saya masih mempunyai diri Saya yang lain, yang selalu menemani Saya, membuat Saya bisa bertahan hingga sampai saat ini.
Ketertarikan Saya terhadap diri Saya sendiri, membuat Saya semakin tertarik untuk mendalami dunia spiritual. Pada akhirnya Saya mengenal apa itu "dulur papat", meditasi, mental health, mencintai diri sendiri, berdamai dengan kenyataan, dan juga nihilisme.
Ketika kita sedang tertimpa masalah, memang benar orang-orang di sekitar kita bersedia memberikan semangat. Tapi, siapa orang yang tak bosan mendengarkan cerita kita setiap hari? Orang-orang yang biasa kita jadikan tempat untuk bercerita, lambat laun akan bosan mendengar cerita kita. Maka dari itu, Saya lebih memilih self talk, menyimpan semuanya sendirian.
Saya sungguh beruntung, dan mengucapkan terima kasih kepada diri Saya yang lain. Berkat "diri Saya yang lain", Saya masih bisa bertahan hingga hari ini, melanjutkan hidup yang dipenuhi drama, kembali menyongsong cita-cita, angan, dan juga mimpi.Â
Saya bahkan tidak akan menyangka akan seperti apa kehidupan Saya, jika tidak ada diri Saya yang lain. Bahkan ketika semua orang menghindar, pergi menjauh, hingga memusuhi, "diri Saya yang lain" masih setia menemani apapun kondisinya. Memberikan semangat serta sugesti, meyakinkan Saya bahwa semuanya akan baik-baik saja.