Berbicara mengenai ongkos jajan dalam perjalanan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, sebenarnya bukan hal yang baru lagi bagi Saya, terutama yang berkaitan dengan cita rasa dan harga yang ditawarkan oleh penyedia jasa.
Saya sendiri mempunyai banyak pengalaman dulu, terutama ketika melakukan perjalanan jarak jauh. Namun sebelum Saya menceritakan pengalaman Saya, ada baiknya Saya beri sedikit informasi bermanfaat mengenai, "Kenapa harga jajan bisa mahal ketika dalam perjalanan", terutama yang disediakan oleh kereta api, terminal bus, hingga pesawat.
Dalam ilmu pemasaran, khususnya yang membahas masalah marketing fix, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi harga. Salah satunya yaitu targeting. Dalam konteks artikel ini,Saya akan membahas masalah targeting yang dilakukan oleh penyedia jasa seperti kereta api, terminal bus, bahkan pesawat.
Kenapa harga makanan yang disediakan oleh mereka bisa mahal? Itu dikarenakan oleh, target mereka bukan orang dengan uang yang limited edition alias pas-pasan.Â
Target utama mereka adalah mereka yang mempunyai uang lebih, sehingga sanggup membayar walau harga yang ditawarkan mahal. Selain itu, orang dengan tipe "yang penting jajan, urusan harga belakangan" juga menjadi target utama lain dari penyedia jasa. Dan, kenapa harga makanan di tempat umum seperti stasiun kereta api dengan warung pinggir jalan berbeda jauh? Itu dikarenakan oleh segmentasi pasar, yang juga masuk ke dalam marketing mix.
Perbedaan harga yang mencolok itu sebenarnya lumrah, karena service yang diberikan oleh penyedia jasa angkutan umum, berbeda dengan service yang disediakan oleh warung pinggiran. Variabel cost, fix cost, break event point, adalah 3 hal yang harus dipikirkan oleh penyedia jasa angkutan umum. Karena 3 hal tadi juga masuk ke dalam marketing mix, khususnya penentuan laba bersih.
Biaya sewa ruko, gaji pegawai, biaya operasional (listrik, air, internet, telepon, transportasi), hingga biaya bahan baku, adalah biaya-biaya yang menyebabkan harga makanan yang disediakan oleh penyedia jasa kereta api (dan yang lainnya) menjadi mahal. Belum lagi masalah pajak dan sekelumit administrasi perizinan. Dari mana mereka mengcover biaya itu kalau bukan dari menaikkan harga? Inilah pentingnya edukasi sebelum memutuskan untuk jajan pada tempat yang bukan "level"nya.
Orang yang menggunakan jasa kereta api hingga pesawat, mereka dianalogikan mempunyai uang lebih. Seperti itu cara menilainya, walau pada kenyataan tidak semuanya mempunyai uang lebih. Tapi bagaimana dengan mereka yang uangnya "tidak lebih"? Inilah gunanya pemetaan low range, middle range, dan high range. Atau istilah gampangnya, penumpang ekonomi, bisnis, dan eksekutif. Harga yang ditawarkan tiap kelas, pasti berbeda karena harus sesuai dengan targeting dan segmentasi pasar.
Pengalaman pribadi Saya dulu (2012 -2014) ketika masih kerja dengan rata-rata gaji 6 juta rupiah per bulan, adalah sebuah pembelajaran bagi Saya pribadi.
Saat itu Saya memang suka sekali naik kereta api, dan dengan gaji yang terbilang lebih, Saya selalu memilih kelas eksekutif. Ketika masih banyak uang, mengeluarkan biaya sebesar 350 ribu rupiah (saat itu) untuk sekali perjalanan, tidak terasa berat. Apalagi soal membeli jajan di dalam kereta, yang harganya bisa 3x lipat dari harga umum, tidak pernah Saya pedulikan. Dan soal cita rasa, tentu rasanya tidak jauh lebih enak dari masakan pinggir jalan, karena mereka (pekerja kereta api) menggunakan oven untuk memanaskan makanan.
Seingat Saya, satu cup kopi dipatok dengan harga 15 ribu, satu porsi mie goreng 22 ribu, satu porsi nasi goreng seafood 35 ribu. Saya punya uang, Saya lapar. Maka Saya tidak peduli dengan harga dan rasanya, yang penting perut Saya kenyang. Keadaan akan berbeda ketika uang Saya pas-pasan. Saya memilih kelas ekonomi dan tidak melakukan order selama perjalanan. Saya lebih memilih untuk membawa bekal dari rumah, karena jika membeli di sekitar stasiun kereta, harga tetap mahal walau tidak ekstrim seperti ketika di dalam kereta.