20 Oktober 2020 merupakan tanggal di mana Jokowi dan Ma'ruf Amin genap satu tahun usia pemerintahannya, dan, pada tahun pertama ini banyak kebijakan dari Pemerintah yang disorot oleh banyak kalangan elemen masyarakat.Â
Bahkan, mantan koresponden asing di Jakarta, Hong kong, dan Hanoi untuk media Financial Times, Benjamin "Ben" Bland, seorang peneliti Lowy Institute ikut memberikan kritik kepada Jokowi dalam buku biografi yang berjudul "Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia".Â
Dalam bukunya itu, Ben memberikan kritikan atas keberpihakan Jokowi kepada China dalam urusan pembangunan infrastruktur, sehingga negara barat tidak mempunyai kesempatan untuk menyeimbangi pengaruh China di Asia Tenggara.Â
Ben menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia 'menunjukan banyak sifat terburuknya' selama kepemimpinan Presiden Jokowi dengan mengabaikan nasehat para ahli, kurangnya kepercayaan kepada masyarakat sipil, kegagalan untuk mengembangkan strategi koheren, buruknya penanganan virus corona, hingga rencana pemindahan Ibu Kota baru.
Laman The Sydney Morning Herald pada kamis (13/8) menyebutkan, atas kinerja yang buruk itu mengakibatkan munculnya 2 juta pengangguran baru, dan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus virus corona tertinggi di Asia Tenggara.Â
Salah satu kritikan Ben yang lain adalah, soal strategi Jokowi yang tertarik untuk menarik investasi dari siapa pun yang memiliki uang tunai paling banyak, guna mencapai tujuan ekonomi domestik.Â
China adalah salah satu negara yang disebutkan oleh Ben dalam buku biografi itu. Karena seperti yang pernah Saya tulis sebelumnya, bahwa China berambisi menguasai Asia Pasifik dengan menjalankan mega proyek yang bernama One Road One Belt.Â
Ben mengatakan bahwa banyak pihak di Canberra yang mengharapkan Jokowi untuk membuka keran investasi bagi Australia, sehingga dapat berdiri di kawasan Indonesia serta dapat mengimbangi pengaruh China.
Kritikan lain juga datang dari ekonom di Institute for Development of Economics and Finance, Bima Yudhistira, yang menilai bahwa Pemerintah lebih fokus menggenjot investasi ketimbang penanganan virus corona. Bima sendiri mengkritik pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja di tengah pendemi, yang menurutnya tidak ada satu pun negara di dunia saat ini yang fokus mengurus masalah regulasi investasi.Â
Negara lain lebih meyakini bahwa, pemulihan ekonomi bergantung pada seberapa cepat penanganan Covid 19 di negara mereka. Hal ini selaras dengan kritikan Saya kepada Jokowi beberapa waktu yang lalu, bahwa, menurut Saya investor tidak akan melirik Indonesia sebagai "ladang subur" walau Omnibus Law telah disahkan.Â
Karena, mau seringkas apapun aturan regulasi dalam hal investasi, jika pokok permasalahannya (Covid 19) tidak kunjung diselesaikan, maka keadaan akan sama saja. Iklim investasi, perputaran uang, minat belanja masyarakat, tentu dipengaruhi oleh keberadaan virus corona.Â