Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kehilanganmu

6 Oktober 2020   19:35 Diperbarui: 6 Oktober 2020   19:37 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Katakanlah wahai bintang, kemanakah pesona yang selama ini menemaniku? Yang biasanya bertegur sapa denganku, mengajakku berbicara walau tak ada topik yang penting sekalipun. Bercengkrama denganku walau tak ada hujan di penghujung waktu.

Andai saja waktu dapat Aku putar mundur, ingin rasanya Aku menyelamatkanmu dari malapetaka, dari mara bahaya yang kini membuat kau dan Aku berpisah untuk selamanya, meninggalkan tabir pilu nan menyakitkan, yang selalu menyiksa pikiran serta batinku.

Bila saja cahaya bintangmu begitu dekat, ingin Aku mengambilnya walau sedikit, mengirim kepadanya yang kini telah pergi jauh, berbahagia dalam dimensi yang tak akan bisa Aku singgahi.

Menyakitkan memang, berpisah tanpa ada kata perpisahan, tanpa permisi. Walau terkadang rasa jengkel selalu Aku tujukan padamu, tetapi Kamu tak pernah menyelipkannya dalam hati. 

Semua tingkah konyol serta aroganku tak membuat jantungmu berhenti bekerja, tak membuatmu merasa tersiksa dengan semua tekanan yang Aku kirimkan padamu.

Ketika sel-sel otakku mengacau, hanya Kamu yang selalu Aku ingat, tak terhitung seberapa seringnya Aku mengingatmu. Kamu memberikan pelukan hangat bagi darahku yang sedang mengigil, bahkan ketika Aku sudah muak dengan hidupku sendiri.

Bicaralah wahai penenang! Betapa Aku sangat merindukan sosokmu, yang selalu setia menunggu amarahku musnah walau tak tahu kapan pastinya. Membaca pikiranku yang berantakan, menelaah sikapku yang sering kesetanan. 

Praduga demi praduga tak kau tunjukkan sedikitpun, walau seringnya Aku mengumpat padamu, mengira bahwa kau benar-benar tak memperdulikanku.

Dan kini hanya kosong yang tersisa. Tak ada lagi Kamu yang biasanya menyibukkan jemari serta mulutku. Terkenang dengan semua kenangan yang Aku rasa begitu manis, hingga diri ini lupa akan diriku sendiri, dan berharap kiamat akan segera melumat jasadku yang kotor.

Sampai saat ini Aku masih ingat, tergambar dengan jelas hidungmu yang lucu, matamu yang menawan bagai bidadari di kayangan. Pelukanmu yang hangat masih dapat Aku rasa, sentuhanmu yang selembut sutera masih terngiang-nginag di kulitku. 

Betapa bahagianya Aku saat itu, suara tawamu yang mampu membinasakan rasa bosanku, kekhawatiranmu yang mampu meruntuhkan tembok baja yang Aku ciptakan dengan sengaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun