Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

05:30

4 Oktober 2020   08:03 Diperbarui: 4 Oktober 2020   08:18 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petir menggelegar, gemuruh suara badai dentuman menghantam seisi dimensi. Mengalahkan kegaharan yang selama ini melekat padaku. Mengacaukan semua skenario termuktahir, membinasakan logika yang maha tinggi. Tak ada yang bisa Aku lakukan selain pasrah, menuruti perintah petaka dan seluruh argumentasinya.

Bagaimana Aku menjelaskan semua ini? Sebuah permainan setan yang tak Aku sadari menikam semua ekspektasi serta mimpi, membunuh nyawa yang sedang sekarat di penghujung waktu, menghunuskan pedang hingga membelah denyut nadi. 

Dapatkah Aku bertahan, wahai kasih? Kembali menyongsong segala cita-cita, angan, serta mimpi. Tujuan hidup yang sedari dulu Aku perjuangkan, gugur sudah. Tamat tak tersisa ditelan petaka jahanam.

Aku terkapar, kakiku hancur tak berbentuk, sayapku patah sampai kepangkalnya. Hingga air mata ini sudah habis mengering, tak juga Aku temui secerca cahaya di tengah kehancuran.

Hatiku gelisah. Terkoyak terombang-ambing di tengah samudera lepas, bersama gelombang air laut yang mengamuk, langit yang muram seram bagai mendendam. 

Tak ada lagikah yang bisa Aku harapkan, wahai sayang? Aku ingin sekali pulang, mencium keningmu yang suci, mencurahkan segala penat yang sangat menyiksa. Memelukmu dengan erat, berlutut bersimpuh di kakimu dengan segala penyesalan, wahai Ibuku tersayang.

Mungkin memang benar Aku kurang ajar. Menghancurkanmu hingga jatuh terseok. Dicemo'oh oleh puluhan mulut, dihinakan oleh puluhan pasang mata. Aku benar-benar minta maaf, Ibu. Dosaku tak terampuni, kesalahanku akan selalu terkenang, menjadi catatan sejarah yang paling kelam.

Aku mulai bersenandung, mengumandangkan sajak-sajak kekalahan, sajak-sajak kehancuran, serta sajak-sajak kematian. Rasanya masih sama, hidup berlumuran noda, penuh kotoran yang teramat najis, dengan bau yang teramat menyengat. 

Berkali-kali Aku ingin menangis, menyaksikan kehinaan yang saat ini melumpuhkanku. Tapi air mata ini sudah habis, Ibu. Tak ada lagi yang tersisa dari segala kesedihan.

Lekaslah membaik, wahai yang terkuat! Senyumanmu masih dinantikan oleh beberapa pasang mata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun